Sektor Komoditas dan Infrastruktur Terus Melaju

Ilustrasi
Ilustrasi | Candra/Annualreport.id

Pada 2017 mendatang, ada dua sektor industri yang diproyeksi akan terus melaju dan berkembang di Indonesia. Kedua industri tersebut yakni sektor komoditas dan infrastruktur. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh lembaga pemeringkat internasional Moody's Investors Service yang memproyeksi bahwa kinerja emiten sektor komoditas dan infrastruktur di Indonesia akan menjadi sektor yang paling gemilang di 2017.

Moody's memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun depan mencapai 5,2 persen dan mendorong kenaikan laba bersih korporasi yang melompat 2-6 persen. Pertumbuhan ekonomi diproyeksi akan mencapai 5,5 persen pada tahun depan, yang didorong oleh digenjotnya pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah.

Vice President Senior Analyst Corporate Finance Group Moody's Investors Service Singapore Pte., Ltd., Brian Grieser, dalam siaran persnya yang dirilis pada 24 November 2016 lalu, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menjadi pendorong lonjakan pendapatan emiten pada 2017.

“Agenda reformasi Pemerintah dan pengucuran investasi infrastruktur mendorong potensi lonjakan pada sektor konstruksi, bahan bangunan, properti, dan sektor alat berat,” katanya Brian Grieser.

Selain itu, harga komoditas yang terus meningkat menjelang 2017, diproyeksi menguntungkan emiten sektor minyak dan gas, minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), dan batu bara. Kesimpulan itu tertuang dalam 'Outlook Korporasi Sektor Non-Keuangan di Indonesia 2017'.

Menurut Brian Grieser, sektor komoditas masih menjadi tantangan dalam jangka menengah. Namun, komoditas ini akan memberikan keuntungan pada 2017 setelah harga tahun ini telah menyentuh level terendah.

Sementara itu, Moody's memperkirakan pencapaian pra-penjualan (marketing sales) emiten properti pada 2017 merosot. Namun, marketing sales akan menjadi penopang pendapatan emiten properti di Tanah Air.

Ekspektasi Moody's juga tumbuh pada pembelian konsumen atas sepeda motor, mobil, peralatan elektronik besar, dan elektronik kecil. Sektor tersebut diproyeksi rebound, sehingga mendorong kinerja emiten pada 2017.

Akhirnya, Moody's menilai, profil likuiditas korporasi di Indonesia masih kuat bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Meskipun, pada 2017 terbilang lebih lemah dari tahun-tahun sebelumnya.

Risiko refinancing untuk imbal hasil obligasi tinggi pada 2017 dapat dikelola dengan baik. Namun, akan kembali meningkat menjelang periode 2018.

“Sejumlah emiten properti akan memiliki utang jatuh tempo pada 2017 pada saat sektor tersebut tertekan pada tahun ini,” kata dia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 mendatang terdorong oleh membaiknya harga komoditas perdagangan internasional. Economic Advisor and Oxford Economics Lead Economist ICAEW  (Institute of Chartered Account in England and Wales) Priyanka Kishore menilai, Indonesia masih memiliki prospek pertumbuhan yang relatif lebih baik dibanding negara-negara lainnya di Asia Tenggara.

Terlebih, dinamika ekonomi global yang terkena pengaruh ketidakpastian kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan perlembatan ekonomi Tiongkok beberapa waktu lalu ikut berpengaruh pada pertumbuhan dalam negeri.

Priyanka juga menilai, pemotongan suku bunga oleh Bank Indonesia di bulan September dan Oktober tahun ini pun akan mendukung pembelanjaan pada sektor swasta di tahun 2017. Tak hanya itu, pertumbuhan ekonomi domestik tahun depan juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi ASEAN yang masih positif. Dengan naiknya harga komoditas, Indonesia sebagai produsen juga memiliki kesempatan untuk mendongkrak pertumbuhan.

“Di ASEAN, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang merasakan inflasi pada harga grosir tahunan, yang masih jelas berada di wilayah positif. Daya penetapan harga seharusnya dapat perlahan-lahan memulih pada kuartal-kuartal berikutnya berkat biaya-biaya sektor energi yang lebih stabil,” ujar Priyanka melalui keterangannya di Jakarta, Jumat, 9 Desember 2016.

Ia menambahkan, daya penetapan harga seharusnya dapat pulih secara perlahan pada kuartal pertama tahun depan berkat biaya-biaya sektor energi yang lebih stabil dan deteksi awal harga yang naik di Tiongkok yang merupakan pasar tujuan ekspor utama Indonesia. Dengan demikian, hal ini akan mendukung kepercayaan diri bisnis manufaktur.

“Dengan begitu, bisnis-bisnis pun tetap harus waspada atas berbagai risiko permintaan, terutama dengan menurunnya pertumbuhan di Tiongkok. Tapi dengan pemulihan harga komoditas ini, akan mendukung ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen pada tahun 2017,” jelasnya.

Pertumbuhan pada sektor komoditas terlihat pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Jumat, 9 Desember 2016 lalu, yang terpantau adanya sejumlah saham yang tetap mencatatkan dirinya di jajaran top gainer sebagai saham paling bersinar.

Tempat teratas diduduki saham PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) yang meningkat Rp250 (naik 2 persen) ke Rp12.850. Peringkat kedua ditempati saham PT United Tractors Tbk (UNTR) yang meningkat Rp225 (naik 1 persen) ke Rp 22.825.

Urutan ketiga menjadi milik saham PT Link Net Tbk (LINK) yang naik Rp140 (meningkat 2,9 persen) ke Rp4.990. Posisi keempat ditempati saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) yang naik Rp 100 (menguat 4,4 persen) ke Rp2.390. Sedangkan, tempat kelima diduduki saham PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) yang bertambah Rp100 (meningkat 0,6 persen) ke Rp16.075. (DD)