Di tengah perekonomian global yang cenderung melambat, Indonesia justru berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya dengan baik. Pada triwulan III tahun 2016, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar 5,0 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan tahun sebelumnya sebesar 4,7 persen.
Pertumbuhan tersebut utamanya berasal dari pengeluaran konsumsi yang tumbuh 5,0 persen, dan pengeluaran investasi yang tumbuh 4,1 persen. Sementara itu, pengeluaran Pemerintah mengalami penurunan, karena adanya kebijakan penghematan belanja Pemerintah. Peran pengeluaran konsumsi (53,8 persen) dan investasi (31,6 persen) merupakan yang terbesar dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya, sehingga keduanya menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan III tahun 2016.
Tanpa adanya pemotongan anggaran, pertumbuhan PDB Indonesia hingga akhir tahun 2016 diperkirakan akan mencapai 5,1 persen, diatas target pertumbuhan yang ditetapkan Pemerintah sebesar 5,0 persen. Laju pertumbuhan tertinggi diharapkan berasal dari pengeluaran Pemerintah (5,8 persen), investasi (5,4 persen), dan pengeluaran konsumsi (5,1 persen). Sementara untuk ekspor dan impor diperkirakan masih akan terkontraksi, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar -1,1 persen dan -0,9 persen.
Di tahun 2017, harga komoditas dan energi diperkirakan mulai membaik serta perekonomian global yang mulai pulih diperkirakan akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Kinerja perdagangan Indonesia diperkirakan akan mulai mencatatkan pertumbuhan yang positif karena pertumbuhan ekspor di tahun 2017 diperkirakan sebesar 2,2 persen sementara pertumbuhan impor adalah 3,1 persen.
Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2017 diperkirakan masih berasal dari permintaan domestik yaitu sisi pengeluaran konsumsi, investasi, dan pengeluaran Pemerintah, dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5,2 persen; 5,9 persen; dan 6,1 persen.
Secara keseluruhan, pertumbuhan PDB Indonesia dalam skenario baseline diperkirakan sebesar 5,2 persen di tahun 2017. Angka ini adalah tanpa memperhitungkan risiko global dan domestik.
Optimisme terhadap hasil yang akan dicapai pada 2017, pun dikatakan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK). Dalam acara Breakfast Meeting, Masa Depan Ekonomi Indonesia di Jakarta, Kamis, 8 Desember 2016, JK berpesan agar masalah ketidakpastian ekonomi global tetap harus diwaspadai, meski tidak harus disikapi dengan pesimistis.
“Jangan juga terlalu pesimis atau terlalu memikirkan negara orang. Apa yang diperkirakan tidak akan sejauh itu,” kata JK.
Dia lantas mencotohkan soal kebijakan yang akan diambil Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang akan menaikan pajak ekspor ke Tiongkok sebesar 45 persen. Hal ini, menurut JK, tidak akan benar-benar terjadi.
“Saya kira tidak mungkin mereka bikin pajak untuk ekspor Tiongkok sebesar 45 persen. Pasti rakyat AS akan berontak, daya beli menurun, lalu negara itu menjadi miskin. Jadi tidak mungkin. Efek Trump tidak akan sebesar apa yang dikampanyekannya,” paparnya.
Jaminan ketidakhawatiran juga di lontarkan Presiden AS Barrack Obama, ketika bertemu dengan JK saat acara Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Peru beberapa waktu lalu.
“Waktu di Peru, saya bicara dengan Obama. Dia pragmatis. Dia yakin bahwa realisasinya hanya kurang dari 50 persen. Jangan terlalu khawatir,” kata JK.
Maka dari itu, JK pun optimistis bahwa kondisi ekonomi pada tahun depan, akan lebih baik lagi. Apalagi dengan keunggulan Indonesia dari sisi jumlah penduduk, sehingga konsumsi dalam negeri bisa jadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
“Pasar kita tinggi sekali dengan 250 juta penduduk,” jelasnya.
Titik Seimbang
Perihal asumsi target pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2017 sebesar 5,1 persen, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa angka pertumbuhan tersebut menggambarkan titik yang seimbang antara optimisme dan kehati-hatian. Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani saat menjadi pembicara dalam Seminar “Indonesia Economic Outlook 2017” di Mainhall Bursa Efek Indonesia pada Rabu, 23 Novemberi 2016 lalu.
“Optimisme karena kita mampu menjaga momentum, kehati-hatian, karena kita tahu bahwa tantangan eksternal dan mungkin internal harus kita hadapi dan kita selesaikan,” katanya.
Menurut Sri Mulyani, konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap tumbuh sebesar 5 persen dan konsumsi Pemerintah diperkirakan tumbuh stabil di kisaran 4,8 persen. Selain itu, investasi dari swasta dan capital market diharapkan lebih baik pada tahun depan.
Sementara itu, ekspor dan impor diperkirakan hanya akan tumbuh 0,2 persen dan 0,7 persen. “Hal ini menggambarkan perdagangan global diperkirakan masih lemah,” imbuhnya.
Berbeda dengan Pemerintah, beberapa institusi meramalkan kondisi ekonomi yang lebih optimis. Bank Dunia, misalnya, memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan mencapai 5,3 persen. Sementara Bank Pembangunan Asia (ADB), Bloomberg Consensus Forecast, S&P, Fitch, dan Moodys, berturut-turut memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2017 sebesar 5,1 persen, 5,3 persen, 5,2 persen, 5,5 persen, dan 5,2 persen.
Meskipun Pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah, menurut Sri Mulyani, hal tersebut bukanlah bentuk pesimistis. Terlebih melihat beberapa pencapaian korporasi dalam negeri baik badan usaha milik negara maupun swasta yang memperlihatkan pertumbuhan positif di kuartal III 2016.
“Ini adalah titik kombinasi yang seimbang antara optimisme dan kehati-hatian. Dan saya senang untuk mengkombinasikan hal ini, karena mengelola keuangan negara yang hati-hati bukan berarti kita takut, hati-hati bukan berarti saya konservatif, hati-hati tidak berarti saya tidak ambisius, hati-hati is just a basic principal that keuangan negara harus kredibel supaya dia efektif. Dia harus kredibel supaya dia sustainable,” kata Menkeu menguraikan.
Di lain sisi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kembali membukukan perbaikan dalam data ekonomi terbarunya. Kondisi itu meredakan kekhawatiran terjadinya penurunan ekonomi negara tersebut.
Indeks harga produsen Negeri Panda berhasil naik dalam laju tercepatnya selama lima tahun terkahir pada November 2016. Naiknya harga batu bara, baja, dan bahan bangunan lainnya menjadi faktor pendorong utamanya.
Situasi ini dipercaya akan meningkatkan keuntungan sektor industri dan memberikan ruang bagi perusahaan manufaktur untuk melunasi utang-utangnya. Pemerintah Tiongkok melaporkan indeks harga produsen naik 3,3 persen. Sebelumnya, sejak Februari-Agustus 2016, indeks harga produsen negara ini terus melaju pada level negatif.
“Kenaikan yang cenderung moderat, akan memiliki dampak yang baik. Pasalnya, perusahaan Tiongkok akan memiliki tambahan kas untuk membayar utang-utangnya,” kata Kepala Analis Ekonomi Makro BOC (Bank of China) Internasional Holding Ltd. Zhu Qibing, Jumat, 9 Desember 2016 lalu.
Inflasi Tiongkok juga tercatat tumbuh 2,3 persen, atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu. Capaian tersebut berhasil melebihi ekspektasi para ekonom. Ada pun inflasi November menjadi yang tertinggi sejak April. Naiknya harga pangan menjadi pendorong utama inflasi bulan lalu. Di sisi lain, laju inflasi yang lebih rendah dari indeks harga produsen itu baru pertama kali terjadi sejak 2011.
Kenaikan yang cenderung moderat pada laju inflasi dan indeks harga produsen bulan lalu, membuat para ekonom mempercayai Bank Sentral China tidak akan melonggarkan kebijakan moneternya lagi. Mereka justru percaya Bank Sentral China akan melakukan pengetatan moneter dalam waktu dekat. (DD)