Himbauan BI dan OJK

Ilustrasi
Ilustrasi | www.b2bnn.com/

Pada dasarnya, teknologi keuangan atau financial technology (fintech) yang kini tengah berkembang sangat pesat, tidak terkecuali di Indonesia, bukan merupakan hal yang baru. Bahkan, Bank Indonesia (BI) memandang layanan berbasis fintech sudah sejak lama digunakan oleh dunia perbankan Indonesia termasuk pula bank sentral dalam berbagai transaksi dan layanan.

Misalnya saja RTGS (real time gross settlement) milik Bank Indonesia atau BI-RTGS. Dalam situsnya bi.go.id, dijelaskan, BI-RTGS adalah sistem transfer dana elektronik yang penyelesaian setiap transaksinya dilakukan dalam waktu seketika yang dioperasikan Bank Indonesia pada tanggal 17 November 2000.

Karena itu, Deputi Gubernur BI Ronald Waas pernah mengatakan bahwa fintech di Indonesia bukan sesuatu yang baru.  “RTGS (Real Time Gross Settlement) itu fintech atau bukan? Itu fintech juga. Ada PBI (Peraturan Bank Indonesia) RTGS. Jadi sudah diatur. Jangan seolah-oleh fintech itu sesuatu yang baru,” kata Ronald Waas.

Meski demikian, Ronald tak menampik bahwa memang ada beberapa hal yang baru dalam dunia fintech. Ia mengatakan, bank sentral mengimbau agar keberadaan fintech tidak malah membuat masyarakat inefisien dalam bertransaksi. Selain itu, bank sentral juga melarang apabila industri sistem pembayaran yang banyak didominasi perusahaan startup menjadi tempat memperoleh rente.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang, untuk memperkuat landasan operasional bisnis fintech company di Indonesia serta menjamin perlindungan terhadap konsumen, OJK merasa perlu adanya mekanisme perizinan bagi fintech company yang akan memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat. 

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengatakan perlu adanya pengaturan atau regulasi lebih lanjut terkait bisnis fintech di Indonesia.  Regulasi tersebut mencakup pada teknologi, keamanan operasional, sumber daya manusia, serta pengelolaan dan manajemen risiko. Hal ini disampaikan Ketua DK OJK dalam sebuah seminar bertajuk Peluang dan Tantangan Fintech dalam Memperluas Akses Keuangan yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (19/4/2016).

"Selanjutnya, mengingat sifat aktivitas fintech yang lintas sektoral, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi yang erat antar otoritas yang terkait seperti OJK, BI, Kementerian Kominfo, Perdagangan, Perindustrian, dan regulator lain yang terkait, dalam mengatur dan mengawasi aktifitas fintech, sehingga keberadaan fintech mampu memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan perekonomian," tuturnya.

OJK sadar bisnis fintech menawarkan berbagai potensi dalam mendorong peningkatan akses keuangan masyarakat. Sebagai perusahaan yang menyediakan layanan jasa keuangan dengan basis teknologi informasi, secara global fintech saat ini sudah berkembang sangat pesat dan memiliki pangsa pasar yang besar. Bahkan, investasi global pada fintech diperkirakan telah mencapai US$12 miliar pada tahun 2014, naik lebih dari 11 kali lipat dibanding tahun 2008. Fintech terutama berkembang cukup pesat di Amerika Serikat dan Eropa khususnya di Inggris, sementara di kawasan Asia Pasifik, perkembangan pesat terjadi di Singapura dan Hongkong.

"OJK optimistis​ bahwa pengembangan dan pemanfaatan teknologi Informasi di Industri jasa Keuangan, khususnya dengan keberadaan Fintech di industri jasa keuangan Indonesia akan memberikan nilai tambah dalam meningkatkan akses keuangan dan kemandirian finansial masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat," kata Muliaman. (DD)