Produk asuransi syariah sendiri mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1994 lalu lewat perusahaan pelopor asuransi berbasis syariah bernama Asuransi Takaful, dan mulai menjadi trend pada tiga tahun terakhir belakangan ini. Data OJK dalam enam tahun terakhir menunjukkan, total asset IKNB (Industri Keuangan Non Bank) Syariah, termasuk di dalamnya asuransi syariah, meningkat tujuh kali lipat. Total Aset IKNB Syariah per September 2016 tercatat Rp85,09 triliun dibandingkan tahun 2010 yang hanya Rp10,5 triliun. Jumlah ini pun diperkirakan akan terus naik menjadi Rp100 triliun dalam 2 - 3 tahun mendatang.
Bahkan saat ini keuangan syariah menjadi prioritas pemerintah Indonesia dan telah memasukkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, serta menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional.
Tak heran bila Pemerintah membuat beberapa kebijakan yang mendukung penuh industri dan para pelaku usaha yang berencana mengembangkan produk asuransi syariah. Selain melakukan pelatihan, literisasi, dan edukasi dalam mensosialisasikan produk-produk asuransi syariah ke masyarakat luas, Pemerintah juga tengah mendorong asuransi syariah sebagai gaya hidup masyarakat Indonesia.
Dukungan Pemerintah ini dituangkan lewat Undang-Undang Perasuransian No. 40 tahun 2014 juga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, yang mana salah satu aturannya meminta semua perusahaan asuransi harus sudah melepas unit usaha syariah (UUS) atau spin off pada tahun 2024, dan meminta mereka (perusahaan asuransi-Red) untuk memberi gambaran road map spin off-nya kepada OJK hingga tahun 2020.
Dalam UU No. 40/2014 disebutkan bahwa perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang memiliki unit usaha syariah dengan nilai tabaru dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50 persen, maka diwajibkan melakukan pemisahan unit usaha syariah selambat-lambatnya 10 tahun sejak UU tersebut diundangkan.
Pemisahan unit usaha ini merupakan salah satu langkah agar asuransi syariah bisa tumbuh dan berkembang. Ketua Umum AASI, Taufik Marjuniadi, seperti yang dikutip dari Kontan.co.id, mengatakan, hingga kini perusahaan di industri asuransi syariah masih menyiapkan diri untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Karena bagaimanapun juga, perlu perencanaan matang untuk melakukan spin off.
Data dari AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) menyebutkan, sampai saat ini ada tiga dari 69 perusahaan asuransi yang sudah spin off dari induk perusahaan asuransi konvensionalnya. Mereka adalah Jasindo Syariah, Reindo Syariah, dan Bumiputera Syariah.
Sebagai informasi, PT Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera yang baru spin off tahun lalu, saat ini telah memiliki pangsa pasar sebesar 3,72 persen dan asset lebih dari Rp1 triliun per akhir 2016 lalu. Sementara itu, kontribusi bruto yang didapat hingga Desember 2016 juga sebesar Rp218 miliar. Adapun perolehan hasil investasinya sampai dengan akhir tahun 2016 adalah sebesar Rp41 miliar.(LIA)