Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, premi bruto asuransi umum sepanjang 2016 tercatat sebesar Rp53,26 triliun, atau turun 7,55 persen dari tahun lalu. Sedangkan asuransi syariah mencetak kontribusi bruto sebesar Rp12,02 triliun atau tumbuh 14, 69 persen dari tahun 2015. Meski pendapatannya terbilang masih kecil dibanding asuransi konvensional, namun indeks pertumbuhan asuransi syariah mengalami kemajuan yang signifikan.
Hal tersebut dikarenakan animo masyarakat terhadap produk asuransi syariah yang semakin besar. Hingga semester I-2017 ini, pangsa pasar asuransi syariah perlahan menunjukkan kenaikan. Kenaikan pangsa pasar asuransi syariah ini dari sisi asset telah mencapai angka 6,5 persen. Pencapaian ini lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 6,09 persen.
Bahkan Per bulan Juni 2017, industri asuransi syariah tercatat memiliki asset sebesar Rp37,37 triliun. Jumlah ini mengalami pertumbuhan sebesar 22,1 persen secara year on year. Capaian ini pun di atas pertumbuhan asset industri asuransi konvensional yang hanya 14,43 persen.
Meningkatnya pangsa pasar asuransi syariah ini tak lain disebabkan oleh peningkatan literasi dan edukasi yang dilakukan berbagai pihak sehingga pemahaman masyarakat terhadap produk dan manfaat asuransi masih semakin bertambah.
Seperti diketahui, perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional terletak pada tujuan dan operasionalnya. Berdasarkan UU No. 40 tahun 2014 tentang perasuransian dikatakan, asuransi konvensional merupakan perjanjian antara dua pihak, yakni pemegang polis dan perusahaan asuransi yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan.
Sedangkan asuransi syariah adalah kumpulan perjanjian, yang tediri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi bersadarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi.
Pada operasioalnya, ada beberapa hal yang sangat berbeda yang dilakukan asuransi syariah dengan asuransi konvesional. Di antaranya, dalam hal pengelolaan Risiko. Pada asuransi syariah, pengelolaan risiko menggunakan prinsip sharing of risk, di mana risiko dibebankan/dibagi kepada perusahaan dan peserta asuransi itu sendiri.
Sedangkan pada asuransi konvensional, berlaku system transfer of risk, di mana risiko dipindahkan/dibebankan oleh tertanggung (peserta asuransi) kepada pihak asuransi yang bertindak sebagai penanggung di dalam perjanjian asuransi tersebut.
Selain itu, pada pengelolaan dana di dalam asuransi syariah bersifat transparan dan digunakan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang polis asuransi itu sendiri. Berbeda dengan asuransi konvensional yang menentukan jumlah besaran premi dan berbagai biaya lainnya untuk menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan sendiri.
Untuk kepemilikan dana, dalam asuransi syariah, dana asuransi adalah milik bersama (semua peserta asuransi) dan perusahaan asuransi hanya sebagai pengelola dana. Pada asuransi konvensional, dana asuransi merupakan milik perusahaan asuransi sehingga perusahaan memiliki wewenang penuh dalam pengelolaan dan pengalokasian dana asuransi.
Sedangkan pada pembagian keuntungan, pada asuransi syariah semua keuntungan perusahaan yang terkait dana asuransi, dibagikan pada semua peserta asuransi. Hal ini berbeda dengan asuransi konvensional yang mana seluruh keuntungannya menjadi hak milik perusahaan asuransi tersebut.
Klaim dan layanan di dalam asuransi syariah juga berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah peserta asuransi dapat mengajukan klaim ganda, dan satu polis bisa digunakan untuk semua anggota keluarga sehingga premi yang dikenakan jauh lebih ringan. Sedangkan pada asuransi konvensional, klaim ganda tidak bisa dilakukan dan setiap anggota keluarga akan memiliki polis sendiri sehingga preminya menjadi lebih tinggi.
Begitu pula dengan permasalahan dana hangus yang biasa terjadi pada asuransi konvensional, pada asuransi syariah ini dana tetap bisa diambil meskipun ada sebagian kecil yang diikhlaskan sebagai dana tabarru.
Instrumen investasi yang ada pada asuransi syariah juga berbeda. Investasi tidak bisa dilakukan pada berbagai kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah dan mengandung unsur haram dalam kegiatannya. Sementara pada asuransi konvensional, perusahaan melakukan berbagi macam investasi pada berbagai instrument yang mendatangkan keuntungan besar untuk perusahaan.
Perusahaan tidak mempertimbangkan haram atau tidaknya instrument investasi yang dipilih. Tak heran bila pengawasan pada asuransi syariah dilakukan sangat ketat oleh Dewan Syariah Nasional (DNS) yang dibentuk langsung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DNS inilah yang bertugas mengawasi segala bentuk pelaksanaan prinsip ekonomi syariah di Indonesia dan memastikan operasional yang dijalankan oleh perusahaan asuransi syariah sesuai dengan prinsip syariah yang benar.
Berbeda dengan asuransi konvensional yang tidak mempermasalahkan dari mana asal objek yang diasuransikan, karena perusahaan hanya melihat nilai dan premi yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi tersebut.(LIA)