Data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Senin, 7 November 2016 lalu, menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2016 sebesar 5,02 persen. Angka ini meningkat dibandingkan pencapaian pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 4,73 persen. Namun, angka ini masih di bawah pertumbuhan pada kuartal sebelumnya, yaitu 5,19 persen. Pertumbuhan ekonomi makin melambat.
Data dari BPS ini seakan meredupkan harapan Indonesia dalam mencapai target pertumbuhan 5,1 persen yang dicanangkan pemerintah untuk tahun ini.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi antara lain disebabkan turunnya belanja pemerintah dan nilai ekspor. Pengeluaran pemerintah yang menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan, pada kuartal ketiga tahun ini turun sekitar 3 persen dibanding tahun 2015.
Para analis ekonomi memperkirakan, Indonesia akan sulit mencapai target pertumbuhan 5,2 persen, karena pada saat yang sama, angka ekspor menunjukkan penurunan tajam, terutama permintaan ekpor komoditas dari Cina.
Meski begitu, secara global, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini termasuk bagus. Perekonomian global di kuartal III 2016 ini masih belum stabil dengan tingkat pertumbuhan yang tidak merata sehingga perlambatan ekonomi dunia ini memberikan efek tersendiri bagi perekonomian di Tanah Air.
Misalnya saja perekonomian Tiongkok yang masih stagnan pada angka 6,7 persen. Begitu pula dengan Singapura mengalami perlambatan dari dua persen menjadi 0,6 persen. Perekonomian Korea Selatan pun melambat dari 3,3 persen menjadi 2,7 persen. Sementara Amerika Serikat menguat dari 1,3 persen menjadi 1,5 persen.
Struktur perekonomian Indonesia masih didominasi oleh tiga lapangan usaha yang secara tahunan disokong oleh sektor transportasi dan perdagangan di angka 8,2 persen, jasa keuangan dan asuransi yang menyentuh 8,83 persen, serta informasi dan komunikasi sebesar 9,2 persen.
Sedangkan di kuartal III 2016, pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengeluaran, yakni sektor konsumsi rumah tangga naik 5,01 persen, pengeluaran Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 4,06 persen, ekspor minus 6 persen, konsumsi pemerintah minus 2,97 persen, konsumsi Lembaga Non Profit Melayani Rumah Tangga (LNPRT) sebesar 6,65 persen, dan impor negatif di posisi minus 3,87 persen.
Berdasarkan data BPS, ada beberapa faktor yang mempengaruhi naiknya ekonomi Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Pertama, di kuartal III 2016 terjadi peningkatan penjualan mobil secara wholesale atau penjualan sampai tingkat dealer mencapai 251.340 unit atau tumbuh 5,08 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Kedua, adanya peningkatan produksi semen sebesar 14,81 juta ton, atau naik 5,22 persen secara tahunan. Ketiga, adanya peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia selama kuartal III mencapai 3,07 juta kunjungan atau naik 13,36 persen secara tahunan.
Keempat, menguatnya permintaan masyarakat yang diindikasikan dari penjualan ritel yang tumbuh 11,89 persen secara tahunan di kuartal III 2016, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu 7,19 persen secara tahunan.
Kelima, pertumbuhan permintaan kredit baru, penyaluran dana pihak ketiga, pertumbuhan industri jasa keuangan dan asuransi menjadi pendorong peningkatan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan data-data di atas, Indonesia optimis akan pencapaian target tahun ini, meski realisasi kuartal III terbilang lebih rendah. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa mencapai 5,1 persen.
Bila melihat pola yang terjadi pada setiap periode, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV cenderung lebih tinggi. Pemerintah bisa berinvestasi lebih besar pada program-program yang memberikan dampak langsung pada masyarakat miskin dan hampir miskin, demikian pula dengan peningkatan investasi dalam bidang infrastruktur. Salah satunya adalah program satu juta rumah untuk rakyat dan prgram lainnya.
Namun tantangan-tantangan tetap mewarnai tujuan pembangunan Indonesia. Meskipun iklim investasi rata-rata terbilang positif, namun Indonesia terus menghadapi ketidakpastian regulasi dan biaya logistik yang tinggi. Namun peluncuran sejumlah paket-paket reformasi telah menunjukkan political will Pemerintah untuk meyakinkan investor bahwa Indonesia membuka diri terhadap dunia usaha. Paket-paket ini meliputi daftar investasi negatif, yang mencakup sekitar 600 sektor yang mewakili sekitar 70 persen perekonomian nasional. Pemerintah pun berjanji bahwa upaya reformasi akan terus berlangsung.