Sektor properti di Indonesia, merupakan salah satu sektor yang menarik bagi investor, karena memiliki prospek yang menjanjikan. Selain itu, adanya program pengampunan pajak, atau tax amnesty diperkirakan bisa meningkatkan gairah industri ini di Tanah Air.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, pun mengatakan bahwa bisnis properti di Indonesia saat ini cukup menjanjikan. “Jika iklim investasi kondusif, orang akan berbondong-bondong investasi di sektor properti. Menurut saya, salah satu penempatan investasi yang menarik saat ini, ya sektor properti,” kata dia.
Bahkan menurut Enny, adanya kekhawatiran banyak kalangan bahwa akan terjadi bubble (gelembung-Red) di kemudian hari yang diakibatkan sektor properti, tidaklah tepat. Sebab, kondisi di Eropa atau Amerika berbeda dengan di Indonesia. “Saya yakin, keberadaan sektor properti ini tidak akan menimbulkan bubble, karena rasio kepemilikan rumah masyarakat di Indonesia masih sangat rendah, dan harga justru akan terus meningkat. Adanya tax amnesty, berarti akan ada ketersediaan dana untuk membiayai kegiatan pembangunan,” jelas Enny.
Untuk itu, lanjut Enny, dalam melihat hal tersebut sudah seharusnya para pengusaha properti bisa menangkap peluang besar ini ke depannya. Terlebih dengan adanya dukungan dari pemerintah yang cukup memberikan angin segar bagi bisnis properti di tanah air. Apalagi pada tanggal 24 Agustus 2016, Pemerintah baru saja merilis paket kebijakan ekonomi jilid XIII. Dimana dalam paket kebijakan tersebut pemerintah menitikberatkan perhatiannya pada percepatan penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Lewat paket kebijakan jilid XIII ini, pemerintah telah menyederhanakan regulasi sekaligus menekan pajak bagi pengembang kawasan perumahan. Jika dulu pengembang harus melewati 33 tahapan perizinan, kini pengembang hanya perlu melewati 11 tahapan perizinan. Jenis perizinan yang dihilangkan antara lain menyangkut izin lokasi, rekomendasi peil banjir, persetujuan gambar master plan, persetujuan dan pengesahan gambar site plan, izin cut and fill dan analisis dampak lingkungan lalu lintas (Andal Lalin). Selain mengurangi jenis perizinan, ada pula beberapa proses perizinan yang digabungkan menjadi satu, yakni proposal pengembang dengan surat pernyataan bebas sengketa lahan.
Bahkan saat ini, pengesahan site plan juga bisa diproses bersamaan dengan izin lingkungan yang mencakup SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan), rekomendasi damkar dan retribusi penyediaan lahan pemakaman. Nah dengan pemangkasan proses dan biaya perizinan ini, biaya pembangunan rumah akan semakin murah untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Terlebih, peraturan Bank Indonesia soal pelonggaran loan to value yang baru akhirnya terbit yang berisi empat pokok penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Yakni kebijakan relaksasi loan to value (LTV ) yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No. 18/16/PBI/2016 tentang Rasio LTV untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Di dalamnya ditetapkan LTV rumah tapak pertama menjadi 85%, rumah kedua 80%, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 75%. Besaran yang sama berlaku untuk rumah susun. Sementara relaksasi LTV tahun ini menyempurnakan kebijakan yang eksis sebelumnya. Selain perubahan rasio dan tiering KPR tersebut ada tiga hal lain yang diatur. Sebut saja penyesuaian non-performing loan (NPL) secara total kredit dari gross menjadi net. Sementara NPL kredit properti yang dipakai adalah rasio gross. BI menetapkan pelonggaran LTV hanya bisa dinikmati bank dengan NPL total kredit dan NPL kredit properti di bawah 5%.
Dengan ketentuan NPL total kredit maupun NPL kredit properti tidak lebih dari 5%, diperkirakan ada 80 bank yang bisa memanfaatkan relaksasi LTV ini. Adapun populasi bank yang beroperasi di Tanah Air sekarang berkisar 118 bank. Pokok penyempurnaan lain ialah menyangkut kredit tambahan (top up), oleh bank umum maupun pembiayaan baru oleh bank umum syariah atau unit usaha syariah, yang merupakan tambahan dari pembiayaan sebelumnya. BI menyatakan top up tetap menggunakan rasio LTV yang sama asalkan kredit atau pembiayaannya lancar.
Selain hal-hal tersebut, diizinkan pula inden alias kredit untuk pemilikan properti yang belum tersedia utuh. Inden diperbolehkan sampai dengan KPR rumah kedua dengan catatan pencairannya dilakukan bertahap. Untuk inden harus disertai dengan jaminan oleh pengembang kepada bank.(DD)