Investor Pun Menanti Perbaikan Iklim Investasi

Ilustrasi
Ilustrasi | www.worldbank.org

20 Oktober 2016 lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla genap berusia dua tahun. Presiden dan wakilnya tampak berupaya keras untuk mengeliminir dampak pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian domestik.

Dalam mengupayakan hal ini, Presiden telah meluncurkan rangkaian kebijakan besar, yakni paket kebijakan ekonomi hingga 13 jilid. Paket-paket kebijakan tersebut intinya bertujuan untuk memperbaiki iklim bisnis di dalam negeri, mulai dari kemudahan izin berinvestasi hingga kepastian hukum dalam berusaha.

Dampak paket-paket kebijakan itu memang belum signifikan terlihat, namun telah menanamkan pondasi yang lebih kuat untuk pembangunan Indonesia ke depan. Setidaknya Bank Dunia atau World Bank, melalui laporannya berjudul Doing Business 2017: Equal Opportunity for All yang dirilis 25 Oktober kemarin mengakui bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi telah melakukan 7 langkah reformasi dalam satu tahun terakhir, untuk memperbaiki iklim usaha bagi pengusaha lokal maupun internasional.

Tujuh langkah ini meliputi tujuh kemudahan berinvestasi, yakni kemudahan memulai usaha, memperoleh sambungan listrik, pendaftaran Properti, memperoleh pinjaman, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, dan penegakan kontrak.

Berdasarkan reformasi yang dilakukan tersebut, pencapaian indeks kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EODB) 2017 Indonesia pun naik 15 peringkat dari posisi 109 ke posisi 91 dari 189 negara.

Menurut Menteri Koordinator Pereknomian Darmin Nasution, perbaikan EODB tersebut akan turut memperbaiki  iklim usaha di Tanah Air sehingga investasi diharapkan lebih meningkat, menciptakan lapangan kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.

Pada EODB 2017 ini, New Zealand berada di posisi puncak, menggeser Singapura ke peringkat 2. Sementara Malaysia peringkat 23, Jepang peringkat 34, Thailand peringkat 49, Brunei peringkat 84, Vietnam peringkat 90.

Bagi Presiden Joko Widodo, meski EODB naik ke peringkat yang lebih tinggi, namun belum sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya, yaitu peringkat 40 dari 189 di tahun 2017.

Presiden menilai, loncatan pembangunan selama dua tahun terakhir ini belum meningkat secara signifikan. Masih banyak para investor yang menanti untuk dapat berinvestasi di Indonesia. Karena itu, dalam rapat terbatas mengenai pembiayaan investasi non APBN di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/10/2016) lalu, Presiden meminta kementerian terkait melakukan evaluasi dan perbaikan pada berbagai sektor yang belum maksimal.

Menurut Presiden, pemerintah belum maksimal memfasilitasi hal-hal mendasar yang dapat meyakinkan investor seperti pembebasan lahan, ketersediaan listrik, dan ketersediaan energi. Demikian pula terkait masalah pengurusan perizinan.

“Investasi non pemerintah terutama di sektor infrastruktur tidak muncul begitu saja. Harus kita dorong, harus kita siapkan, harus kita fasilitasi, harus dilakukan upaya khusus," kata Presiden kepada para menterinya.

Presiden juga menilai, peranan swasta terhadap pembangunan perekonomian negarasangat penting, terutama dalam sektor infrastruktur. Sebab, pembiayaan infrastruktur yang ditargetkan pemerintah mencapai Rp 4.900 triliun. Sementara APBN dalam 5 tahun hanya Rp1.500 triliun.

Lantas, bagaimana perkembangan dunia investasi selama dua tahun terakhir ini?

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, 25 Oktober 2016 kemarin, melaporkan, pada tiga periode semester pelaporan data yaitu Januari 2015-Juni 2016 tercatat kenaikan signifikan realisasi investasi yang bersumber pada Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp453,8 triliun, naik 32,5 persen bila dibandingkan dengan tiga periode semester sebelumnya, periode Juni 2013-Desember 2014 yang berada di level Rp342,4 triliun. 

Kenaikan investasi yang dicapai tersebut akan terus ditingkatkan dengan melakukan penajaman dari sisi deregulasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Kenaikan yang tercatat dihitung berdasarkan nominal rupiah, sementara apabila dihitung dari nominal dolar Amerika Serikat (AS) maka kenaikan yang dicapai cukup moderat sebesar 4,8 persen menjadi US$34,7 miliar, dari posisi sebelumnya US$33,1 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa ruang perbaikan yang perlu dilakukan masih terus terbuka lebar.

Dari data yang dirilis oleh BKPM dalam periode 3 semester, jumlah proyek mengalami kenaikan sebesar 145,9 persen dari sebelumnya 10.953 proyek menjadi 26.932 proyek. Sementara penyerapan tenaga kerja naiktipis 4,1 persen dari 1,21 juta menjadi 1,26 juta tenaga kerja.

Disebutkan pula, dari daftar negara-negara penyumbang investasi, Tiongkok merupakan negara yang kenaikannya meningkat signifikan. Di antaranya Hong Kong tercatat naik dari US$0,8 miliar menjadi US$2 miliar atau naik 155 persen, sedangkan dari Tiongkok naik dari US$0,8 miliar menjadi US$1,6 miliar atau naik 78 persen.

BKPM juga melaporkan hasil dari kunjungan promosi investasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Dari hasil kunjungan kenegaraan ke Amerika Serika, Belanda, Belgia, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Tiongkok, Pemerintah mengidentifikasi 110 minat investasi senilai US$201 miliar.

Dari jumlah tersebut US$32 miliar atau 16 persen telah mendapat izin investasi dan dalam proses realisasi, sementara US$169 miliar atau 84 persen masih terkendala, baik terkendala problem internal perusahaan maupun kendala yang ditemui di Indonesia.

Menurut data BKPM, meningkatnya minat investor asing terhadap Indonesia, akan berdampak positif pada korporasi dalam negeri. (DD)