Perkembangan teknologi digital telah berdampak pada pergeseran pola hidup masyarakat belakangan ini. Seperti belanja yang tadinya harus pergi ke satu tempat, melihat produk dan melakukan transaksi telah berevolusi menjadi belanja cukup dari rumah dengan menggunakan sarana teknologi canggih dari genggaman kita.
Jika dilihat dari faktanya, 60 persen dari populasi penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang telah menggunakan internet setiap harinya. Perkembangan pesat industri e-commerce di Indonesia ditandai dengan pertumbuhan jumlah toko online dan marketplace yang kian agresif. Data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA-Indonesian E-Commerce Association) mencatat tiga tahun yang lalu anggotanya hanya berjumlah 9 perusahaan e-commerce. Namun saat ini sudah beranggotakan 185 perusahaan.
Ada penemuan menarik lainnya terkait kegiatan belanja yang yang berhasil dilansir MARS Indonesia dalam riset konsumen bisnis e-commerce di Indonesia. Kegiatan belanja sebelum era “Internet of Things” masih terbatas pada direct selling dan face to face, namun faktanya sekarang perilaku belanja telah berubah, konsumen belanja online di Indonesia telah mencapai 26,3 juta jiwa.
Jumlah konsumen online tersebut adalah “market share” menarik untuk digarap oleh pebisnis e-commerce di Indonesia, seperti BukaLapak, Tokopedia, Zalora, Shopee, MatahariMall, Elevenia, Bli-Bli, Lazada dan market player lainnya.
Meskipun jumlah konsumen online masih belum begitu besar, hal ini terkait beberapa hal yang masih menjadi “momok” bagi konsumen Indonesia ketika melakukan transaksi belanja online, seperti faktor “safety” hingga “quality” yang menjadi alasan utama masyarakat masih enggan belanja online.
Sebanyak 57,1 persen masyarakat menganggap kekurangan belanja online dilatarbelakangi oleh risiko penipuan. Peran “customer experience” juga menjadi faktor lain netizen masih enggan melakukan belanja online. Hal tersebut dibuktikan sebanyak 51,5 persen masyarakat beranggapan bahwa kualitas barang tidak sesuai. Biaya ongkos kirim yang mahal ternyata juga menjadi alasan pendukung konsumen belum belanja online.
Selain itu, faktor keamanan dan kualitas produk juga masih menjadi “PR” besar bagi pebisnis e-commerce di Indonesia untuk memaksimalkan kebahagiaan konsumen, yang secara langsung akan berpengaruh terhadap keberlangsungan bisnisnya. Penggunaan strategi yang tepat dan data yang akurat, akan memperbesar kesempatan key player e-commerce di Indonesia untuk menggiring 43 persen konsumen yang masih memilih berbelanja offline untuk beralih ke belanja online.
Dalam perkembangannya, para e-commerce melakukan inovasi terkait dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Seperti Tokopedia dengan fitur layanan TokoCash yang dirancang untuk memudahkan transaksi online di Tokopedia, dan fitur ini menargetkan masyarakat Indonesia yang belum memiliki rekening bank.
Melihat antusiasme warga yang tinggi pada layanan ini, Tokopedia berkata mereka ingin memperluas layanan itu agar lebih banyak dipakai oleh masyarakat untuk alat pembayaran non tunai dan untuk belanja online. Sementara Bukalapak juga memiliki layanan isi ulang uang elektronik yang diberinama BukaDompet. Sedangkan Shopee juga memiliki layanan isi ulang uang elektronik bernama ShopeePay.
Namun inovasi mereka harus terhenti, dengan regulasi yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) yang telah menghentikan layanan isi ulang uang elektronik milik 4 perusahaan seperti TokoCash milik Tokopedia, ShopeePay milik Shopee, Paytren layanan dari PT Veritra Sentosa Internasionaldan milik Ustad Yusuf Mansuf, lalu BukaDompet milik Bukalapak.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 tentang Penyelenggaran Uang Elektronik, penerbit uang elektronik wajib mendapatkan izin dari BI jika floating fund mencapai Rp1 miliar.
Direktur Program Elektronifikasi Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Pungky Purnomo Wibowo mengatakan, perusahaan yang sudah melakukan pembayaran dengan sistem uang elektronik dan memiliki floating fund atau dana yang beredar di platform tersebut lebih sari Rp1 miliar harus mengajukan izin.
“Pokoknya yang sudah melakukan hal-hal berbau e-money dan floating fund-nya sudah lebih dari Rp1 miliar kita minta mereka segera mengajukan surat perizinan,” kata Pungky, seperti dilansir Detik, Senin (2/10/2017).
Keempat penyedia uang elektronik tersebut belum memiliki izin dari BI selaku regulator sistem pembayaran. Saat ini BukaDompet, TokoCash, Paytren dan ShopeePay sedang melakukan pemrosesan izin.
“Sesuai ketentuan ya sampai perizinan mereka selesai. Sekarang masih proses,” ujar Pungky.
Dia menjelaskan dalam memberikan izin penerbitan uang elektronik BI akan memastikan keamanan sistem IT agar terjaga dengan baik. Saat ini, BI memang tengah membatasi penerbitan lisensi dari e-money. Sejauh ini, hanya ada 21 perusahaan di Indonesia yang berhasil mempunyai lisensi tersebut, mayoritas dari mereka merupakan bank dan perusahaan telekomunikasi.
M Ajisatria Suleiman (Aji), Direktur Kebijakan Publik dari Asosiasi Fintech Indonesia, menyatakan kalau saat ini telah ada 20 perusahaan yang mengajukan aplikasi untuk mendapat lisensi e-money kepada BI. Hingga saat ini, mereka masih menunggu respon dari bank sentral di Indonesia tersebut.
“BI saat ini tengah mendorong interoperabilitas antar produk e-money. Ketika masalah ini telah terselesaikan, maka BI baru akan mempertimbangkan untuk kembali membuka kesempatan bagi lisensi baru. Jadi, saat ini mereka ingin fokus untuk mempunyai infrastruktur yang kuat terlebih dahulu, sebelum mengizinkan lebih banyak pemain masuk,” jelas Aji, seperti dilansir Techinasia.com.
Menurut Aji, sepanjang tahun ini, baru ada sebuah layanan pembayaran yang berhasil mendapatkan lisensi e-money, yaitu Espay milik PT Espay Debit Indonesia Koe. Mereka pun telah bekerja sama dengan beberapa pemain e-commerce, seperti PT Solusi Ecommerce Global (MatahariMall.com).
Sementara itu, Kudo sebagai startup asal Tanah Air penyedia platform e-commerce online untuk offline (O2O). Di akuisisi oleh Grab di mana platform Kudo akan terintegrasi secara penuh ke ekosistem pembayaran milik Grab, yaitu GrabPay.
Salah satu tujuan utama proses akuisisi adalah mengoptimalkan layanan GrabPay yang menjadi wadah utama transaksi cashless pengguna Grab. Akuisisi merupakan investasi perdana dari master plan ‘Grab 4 Indonesia 2020’ yang diumumkan belum lama ini. Grab juga berkomitmen menanamkan investasi senilai US$700 juta (Rp9,3 triliun) untuk mendukung ekonomi digital Indonesia dengan dukungan berupa inovasi di bidang teknologi.
Sedangkan layanan on demand PT Gojek Indonesia dipastikan telah menjalin kesepakatan strategis dengan MVCommerce, sebuah perusahaan yang mempunyai layanan pembayaran mobile PonselPay.
Kesepakatan ini disebut-sebut berkaitan dengan lisensi e-money yang dimiliki oleh MVCommerce. Gojek sendiri jelas membutuhkan lisensi tersebut demi mendukung layanan pembayaran mereka, GO-PAY.(DD)