Efisiensi Vs Regulasi

ilustrasi
ilustrasi | Joko/Annualreport.id

Program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI), juga diikuti oleh semua industri. Baik itu pelaku industri transportasi hingga jalan tol. Selain mendukung gerakan ini agar memberikan kenyamanan dan efisien dalam bertransaksi, para pelaku industri juga seolah tak ingin ketinggalan dari pekembangan teknologi sebagai langkah antisipasi pergeseran pola hidup masyarakat ke era digital yang telah berkembang secara global di dunia saat ini.

Teknologi informasi sudah berkembang pesat hingga ke sektor keuangan. Selain platform keuangan, tidak ketinggalan pula peredaran uang fisik sudah mulai dikurangi Pemerintah dan beralih ke uang elektronik. Kita bisa melihat dalam 2-3 tahun terakhir di mana pembayaran transportasi umum (Transjakarta, KRL) yang awalnya menggunakan uang fisik kini sudah beralih ke uang elektronik alias kartu tap.

Akhir tahun 2016 lalu, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI bekerja sama dengan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) menerbitkan kartu TapCash RailPay. Ini merupakan terobosan baru uang elektronik dalam bentuk kartu yang disiapkan bagi pelanggan KAI, karena kartu tersebut tidak hanya berfungsi sebagai kartu pembayaran, namun juga berfungsi sebagai membership pengguna moda kereta api di Indonesia dengan segala fasilitasnya.

Untuk mendapatkan TapCash RailPay, pelanggan KAI harus terdaftar di aplikasi “Mobile KAI Access” dan melakukan pembelian tiket kereta api (KA) jarak jauh dengan jumlah transaksi tertentu. Pelanggan KAI akan memperoleh 4 pilihan kartu BNI TapCash RailPay, yaitu Kartu Regular, Premium, Gold, dan Platinum.

Direktur Utama BNI Achmad Baiquni menuturkan, PT KAI dan BNI bersinergi bersama-sama perbankan lainnya dengan menerbitkan RailPay sebagai alat pembayaran yang dapat digunakan diberbagai moda Transportasi serta titik akseptasi lainnya.

“Langkah ini merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digagas Bank Indonesia untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar membudayakan transaksi secara non tunai,” ujar Baiquni, seperti dilansir Detik.

Sementara PT Jasa Marga (Persero) Tbk bakal menerapkan transaksi non tunai pada seluruh gerbang tol yang dikelolanya. Satu per satu, ruas gerbang tol milik Jasa Marga sudah mulai menerapkan 100% transaksi non tunai. Di mana para pengguna e-money dari berbagai bank, dapat melakukan transaksi di gerbang tol milik Jasa Marga.

Bahkan baru-baru ini Jasa Marga juga meluncurkan “JM Access card”, yakni kartu elektronik yang digunakan untuk pembayaran tol. Berbeda dengan uang elektronik yang diterbitkan oleh bank, kartu JM access hanya bisa digunakan untuk transaksi di jalan tol dan diterbitkan oleh Jasa Marga sendiri.

Saat ini kartu JM Access baru bisa digunakan pada ruas Jakarta-Tangerang-Merak lantaran sifat kerjanya yang berbasis server dan hanya diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan di tol Jakarta-Tangerang-Merak.

Proses transaksi penggunaan kartu JM access di gardu dijamin lebih cepat dibanding uang elektronik. Pasalnya mesin pembaca sudah dipasang data terkait kartu yang ditempelkan, sehingga proses pembacaan kartu bisa lebih cepat satu hingga dua detik dibanding uang elektronik.

Keuntungan lainnya yang didapat adalah, apabila kartu ini hilang atau rusak, pengguna dapat melaporkannya ke Jasa Marga dan akan mendapatkan kartu pengganti.

Sementara itu, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) mengaku tengah menyiapkan perusahaan patungan dengan Jasa Marga untuk menggarap bisnis e-toll collection.

“Sedang disiapkan Joint Venture (JV) antara Telkom dengan Jasa Marga untuk platform e-toll collection. Nanti tak perlu lagi tap kartu, cukup mobil lewat saja di gerbang tol. Bisa adopsi RFID atau On Board Unit (OBU). Belum lama ini sudah uji coba di kawasan Kapuk, menyusul ruas tol lainnya,” ungkap Direktur Enterprise dan Business Service Telkom Dian Rachmawan, seperti dikutip Indotelko.com.

Dian mengatakan, nantinya JV yang dibentuk dua perusahaan pelat merah ini mengoperasikan platform juga termasuk clearing dari transaksi. “Telkom punya banyak anak usaha yang bisa dukung JV ini mulai dari PINS, Finnet, dan Telkomsigma. Komposisi saham dan lainnnya masih dibahas. Targetnya akhir tahun ini JV sudah terbentuk,” jelasnya.

Namun, rencana efisiensi dalam mengurai antrian dan kemacetan di pintu gerbang tol harus tersendat dengan rencana pengenaan biaya isi ulang (top up) uang elektronik terus menuai pro dan kontra. BI tetap akan membuat aturan biaya top up uang elektronik.

BI menetapkan skema harga Uang Elektronik (e-money) untuk transaksi isi ulang (top up). Seperti yang dikatakan sebelumnya skema ini dibedakan antara top up pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu (top up on us), serta pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra (top up off us).

Adapun top up on us untuk nilai sampai dengan Rp200 ribu, tidak dikenakan biaya. Sementara untuk nilai di atas Rp200 ribu dapat dikenakan biaya maksimal Rp750. Sedangkan top up off us dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp1.500.

 Sebagian Produk Uang Elektronik

ilustrasi

Dok. Bank Indonesia

Namun, pengamat berpendapat yang lebih penting dilakukan saat ini mengajak masyarakat untuk mengubah kebiasaan dalam bertransaksi dengan cashless. Bahkan, Pemerintah tengah menggalakkan program GNNT dan cukup penting untuk membentuk cashless community karena akan memberikan stimulus ekonomi bangsa.

Seperti Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) yang menolak kebijakan biaya top up atau isi ulang uang elektronik yang ditetapkan BI. Biaya isi ulang tersebut dinilai membebankan konsumen.

“Secara filosofis YLKI tetap tidak setuju terhadap peraturan BI yang baru karena tetap memberikan beban kepada konsumen,” kata Ketua YLKI Tulus Abadi, seperti dilansir Metrotvnews.

Menurut Tulus, regulasi itu bertentangan dengan program GNNT yang dicetuskan Pemerintah. Biaya ini membuat masyarakat malas mengisi ulang. BI seharusnya justru memberi insentif kepada konsumen dan beragam kemudahan, seperti gratis biaya saat transaksi isi ulang. Mengingat Pemerintah sedang berupaya menggaet masyarakat untuk meminimalisasi penggunaan uang tunai atau cashless.

“Yang paling riil peraturan BI itu tidak mewajibkan kepada bank untuk memberikan biaya,” tegas Tulus.

Apalagi, lanjut Tulus, asosiasi bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) telah menyatakan kesediaan membebaskan biaya isi ulang. Dari sikap itu, Tulus menilai sudah ada perhitungan rinci dari perbankan terkait untung rugi biaya top up.

“BI tidak perlu memaksa. Biarkan kompetisi berjalan bagi bank yang akan menerapkan pembiayaan, bagi bank yang gratis silakan,” kata Tulus.

Lebih lanjut, dia menyebut dalih BI tentang inovasi pelayanan sebagai ekses dari biaya top up, kurang tepat. Sebab dengan penggunaan uang elektrik, maka biaya pencetakan uang akan menurun. Sehingga ada pos lain yang bisa dialokasikan dana dari penurunan tersebut. Karena selama ini BI mengeluh soal tingginya biaya pencetakan uang fisik yang besar.

“Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan cashless ini biaya cetak uang menjadi turun. Biaya itu bisa dikonversikan BI merawat infrastruktur yang ada,” tandasnya.

Memang pada akhirnya bank-bank akan pasrah menerima kebijakan Pemerintah, di mana dengan kebijakan biaya top up, bank-bank di Tanah Air mempunyai ceruk baru untuk menambah pendapatan mereka. Namun, terutama bank-bank BUMN yang menguasai peredaran uang elektronik, seharusnya lebih mengkaji lagi akan aturan BI tersebut, untuk meningkatkan kenyamanan konsumen.

Pasalnya, beberapa negara yang juga menggunakan uang elektronik ternyata juga tidak membebankan biaya pada setiap top up. Entah sistem seperti apa yang mereka tetapkan, namun Pemerintah bisa belajar kepada Hong Kong atau Inggris yang sudah lama menggunakan uang elektronik dan tidak memberikan beban kepada pengguna setiap akan melakukan top up.(DD)