Sekelumit Sejarah ASEAN CG Scorecard

Sosialisasi ASEAN CG Scorecard oleh OJK
Sosialisasi ASEAN CG Scorecard oleh OJK | www.iicd.or.id

Ketika terjadi krisis ekonomi secara global, banyak perusahaan yang membuat membuat penelitian dan kajian, terutama di Eropa dan Amerika. Di Eropa ada istilah Cadbury Report. Cadbury Report ini diketuai oleh Sir Adrian cadbury, Agen Cadbury. Ketika itu, pemerintah Inggris meminta cadbury melakukan penelitian, apa yang menjadi penyebab krisis.

Lalu Cadbury pun membentuk Cadbury Committe. Hasil penelitian itu diberi nama Cadbury Report pada 1992.

Cadbury Report itulah yang kemudian disarankan kepada seluruh perusahaan di Eropa. Bila mereka tidak ingin krisis ekonomi terulang, maka disarankan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terdapat dalam cadbury report tersebut yang kemudian diistilahkan dengan corporate governance.

Dari sana munculah banyak organisasi yang menjadi pendorong penerapan GCG, misalnya OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang berkedudukan di Paris.

OECD mengeluarkan prisnsip-prinsip GCG secara uumum, kemudian disebarkan ke semua regional, termasuk ASEAN. Di ASEAN berkumpul negara-negara yang kemudian membentuk forum bernama Asean Capital Market Forum (ACMF).

Negara-negara ASEAN menciptakan atau sepakat untuk menerapkan Asean Corporate Governcance Scourecard (Asean CG Scorecard) untuk level ASEAN. Asean CG Scorecard ini kemudian menjadi standar bagi perusahaan-perusahaan di ASEAN, terutama untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Jadi, semua negara di ASEAN memiliki standard yang sama, yakni ASEAN CG Scorecard.

ASEAN CG Scorecard ini seperti layaknya standar ISO bagi perusahaan manufaktur untuk melakukan ekspor dan impor. Begitu pula dengan standar GCG di ASEAN untuk MEA, namanya ASEAN CG Scorecard.

Implementasi GCG di Indonesia sendiri melalui beberapa tahap. Pertama, setelah krisis terjadi, yaitu sekitar tahun 1999.

Ketua Dewan Komisioner Indonesia Muliaman D Hadad meresmikan roadmap tata kelola perusahaan Indonesia. Roadmap ini dikeluarkan pada 14 Februari 2014.

Dalam roadmap itu ada 33 rekomendasi perbaikan yang harus dibenahi oleh perusahaan-perusahaan diIndonesia, terutama perusahaan yang sudah terdaftar atau terbuka, atau yang sudah melantai di bursa saham. Dari 33 rekomendasi ini OJK membuat POJK baru agar 33 rekomendasi tersebut bisa diterapkan di Indonesia.

Semua perusahaan terbuka wajib menerapkan 33 rekomendasi tersebut, walaupun masa berlakunya tidak langsung, atau secara bertahap. Hingga kini, ke-33 rekomendasi tersebut belum semua diturunkan.

Rekomomendasi-rekomendasi tersebut mengatur tentang keberadaan direksi, komisaris, RUPS, mengatur saham, pembagian deviden, etika bisnis, komunikasi, dan sebagainya.Jadi sejak 2014 itu Indonesia sudah mewajibkan perusahaan terbuka untuk menerapkan governance berdasarkan standard internasional.

Dalam ASEAN CG Scorecad tersebut ada 5 parameter, dan 190 sub parameter. Kelima parameter itu adalah, pertama, hak pemegang saham, kedua, perlakuan setara antar pemegang saham, ketiga, peran pemegang saham, keempat, keterbukaan informasi dan transparansi, kelima, tanggung jawab dewan direksi dan komisaris.

Pakar sekaligus praktisi GCG Wilson Arafat mengatakan, bila sebuah perusahaan menerapkan parameter-parameter tersebut secara komprehensif, sistematis, efektif, dan efisien, bisa dijamin perusahaan tersebut akan tumbuh kuat dan berkelanjutan.

“Bisa menjadi sebuah perusahaan tumbuh kuat dan berkelanjutan kalau beyond-nya juga dilakukan, bukan sekadar di atas kertas,” kata Wilson.

Bukti empiris sudah banyak yang bisa kita ketahui bersama baik itu di Asia, Eropa, dan sebagainya, bahwa sebuah perusahaan bisa hancur karena tidak menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam menjalankan perusahannya. Seperti yang terjadi pada Enron Corp., Worldcom,  dan Xerox.