ASEAN CG Scorecard, Babak Baru Implementasi GCG di Indonesia

Ilustrasi
Ilustrasi | www.irpc.co.th

Korupsi, hingga detik ini, ternyata masih menjadi penyebab utama Indonesia berdaya saing lemah. Hasil penelitian World Economic Forum (WEF) atau Forum Ekonomi Dunia yang berbasis di Jenewa tentang rekapitulasi daya saing negara-negara sedunia, menyatakan, Indonesia berada di urutan 41 dari 138 negara. Posisi ini merosot 4 poin dari tahun lalu yaitu posisi 37.

Hasil penelitian yang terangkum dalam Global Competitiveness Report 2016-2017 tersebut mengungkapkan, penyebab utama daya saing Indonesia menurun adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi pemerintah, keterbatasan infrastruktur, akses ke pendanaan, inflasi ketidakstabilan kebijakan, buruknya etos kerja buruh, tingkat pajak, tenaga kerja pintar yang terbatas, kebijakan pajak, regulasi valas, ketidakstabilan pemerintahan, buruknya kesehatan publik, keterbatasan inovasi, dan terakhir peraturan buruh yang ketat.

Daya rusak korupsi memang sangat luar biasa terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di bidang pemerintahan, korupsi sudah pasti mengikis kapasitas institusi pemerintah untuk memberikan layanan publik berkualitas. Korupsi juga mengalihkan investasi publik jauh dari kebutuhan masyarakat, juga meningkatkan tekanan anggaran pada pemerintah. 

Di bidang perekonomian, korupsi dapat menyebabkan investasi berkurang, mendistorsi pasar, menghalangi kompetisi atau persaingan sehat, menciptakan inefisiensi dengan meningkatkan biaya untuk berbisnis, dan memperlebar kesenjangan pendapatan.

Berdasarkan realitas tersebut, maka dalam strategi pemberantasan korupsi, pemerintah pada dasarnya harus menjamin terlaksananya good governance dengan konsisten. Tegaknya supremasi hukum hanyalah salah satu dari prinsip-prinsip good governance. Prinsip lainnya adalah adanya partisipasi masyarakat dan transparansi dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik.

Mengenai good covernance ini, kita mungkin masih mengingat krisis multidemensi yang pernah memporakporandakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada 1997 silam. Kriris itu juga sudah mengikis habis kredibilitas pemerintah Republik Indonesia. Krisis kredibilitas tersebut kemudian merembet ke sektor swasta yang merupakan salah satu pilar penyangga perekonomian Negara yang sangat penting.

Sejak itu, wacana yang berkenaan dengan implementasi Good Corporate Governance (GCG) menjadi hangat diperbincangkan. Bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa faktor fundamental yang menyebabkan krisis adalah mengabaikan prinsip-prinsip GCG. Wilson Arafat, seorang praktisi GCG pernah mengatakan dalam bukunya GCG Strategy Execution With Balanced Scorecard Approach, krisis finansial yang melanda Indonesia diakibatkan karena lemahnya praktik, pelaksanaan atau dilanggarnya prinsip-prinsip GCG.

Perlahan tapi pasti, implementasi GCG mulai digalakkan. Pada tahun 1999, pemerintah membentuk KNKG untuk mendorong penerapan GCG di seluruh Indonesia. KNKG kemudian mengeluarkan pedoman-pedoman umum untuk penerapan GCG di Indonesia. 

Secara paralel, pemerintah juga gencar mereformasi biroksasi, seperti menyesuaikan undang-undang (UU) perusahaan terbuka, UU perusahaan BUMN, UU perbankan dan sektor keuangan, serta UU untuk bisnis sesuai dengan perkembangan. 

Khusus untuk sektor keuangan, melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), Bank Indonesia mengatur secara ketat. BI mengeluarkan peraturan-peraturan baru yang sesuai dengan penerapan governance di Indonesia. 

Pada tahun 2014, terjadi transformasi standard GCG di Indonesia dengan standard GCG internasional, yakni Asean Corporate Governance Scorecard atau disingkat ASEAN CG Scorecard. Roadmap GCG dengan standard ASEAN CG Scorecard ini diresmikan pada 14 Februari 2014 oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Haddad.  

Roadmap tersebut terdiri dari 33 rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama perusahaan yang sudah terdaftar atau melantai di bursa saham. Hingga saat ini, penerapan rekomendasi tersebut diberlakukan oleh OJK secara bertahap.

Bila rekomomendasi-rekomendasi yang mengatur keberadaan direksi, komisaris, RUPS, mengatur saham, pembagian deviden, etika bisnis, komunikasi, dan sebagainya itu dilakukan secara komprehensif, tidak hanya di atas kertas, tentu tidak mustahil sebuah perusahaan akan tumbuh dengan sehat, kuat, dan berkelanjutan. Perusahaan yang sehat dan kuat tentu akan berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi negara.