Konsep Pembangunan Berkelanjutan

ilustrasi
Ilustrasi | Dok. topfinancialnewscast.com

Gagasan besar tentang pembentukan dunia usaha yang tumbuh bersama dengan dimensi sosialnya telah berkembang melalui konsep pembangunan berkelanjutan, atau biasa dikenal sebagai Sustainability Development.

Secara sederhana, ‘sustainable’, atau  ‘berkelanjutan’ memberikan gambaran tentang sebuah proses yang berkesinambungan, baik secara garis linear maju ke depan maupun longitudinal yang disandarkan pada 3 (tiga) elemen dasar atau “3P”: People, Profit dan Planet.

Ide ini muncul sejalan dengan perkembangan desain ekonomi “Reaganomics” di Amerika Serikat dan “Thatcherisme” di Inggris pada era 1980-an, dimana paham ini mendorong berkurangnya intervensi negara agar individu lebih dapat memiliki kesempatan untuk bebas berusaha.

Era ini ditandai dengan privatisasi beberapa perusahaan milik negara di Inggris, yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai awal neoliberalisme modern dan massifnya pertumbuhan dunia usaha swasta.

Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui Laporan Brundtland, atau lebih dikenal Our Common Future, sebuah laporan yang terbit di tahun 1987 dari World Commission on Environment and Development (WCED) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi masa depan". Agresifnya dunia usaha di Eropa dan Amerika pada saat itu memang menuai sejumlah kritik, terutama dari negara-negara berkembang yang umumnya hanya menjadi penyedia sumber daya alam sekaligus menjadi obyek pasar semata.

Lingkup Pembangunan Berkelanjutan

ilustrasi

World Summit 2005

3 (tiga) pilar pada lingkup pembangunan berkelanjutan di atas kemudian berkembang pada tingkatan berikutnya, yaitu keragaman budaya. Konsep keragaman budaya ini mengemuka sejalan dengan pertumbuhan ekonomi-sosial-budaya dari negara-negara berkembang pasca krisis 1998 yang melanda seantero dunia.

Selain itu, populasi penduduk yang besar dari negara-negara berkembang mendorong sejumlah tuntutan bentuk ekonomi yang lebih memerhatikan kepentingan masyarakat lokal; yang kemudian banyak beranasir dengan perkembangan gagasan tentang Hak Asasi Manusia.

Di Indonesia sendiri, gagasan di atas tertuang melalui Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, atau Corporate Social Responsibility (CSR). Sebagian besar perusahaan—kalau tidak ingin disebut seluruhnya—menerapkan berbagai program dan kebijakan CSR baik yang bersifat insidentil maupun program-program yang dibangun secara sistematis. Program-program ini kerap dilekatkan dengan upaya branding atau membangun merk perusahaan sebagai entitas usaha yang memiliki kepedulian sosial.

Wajar kiranya motif ini ditempuh, mengingat tumbuh berkembangnya pelaku usaha juga menjadi bagian dari perkembangan ekonomi secara keseluruhan.(PJD)