Industri ritel Indonesia memang tengah berada di persimpangan, seiring dengan perkembangan teknologi saat ini. Pergeseran karakter dan menurunnya daya beli masyarakat Indonesia serta pertumbuhan e-commerce yang terus meningkat, diindikasikan sebagai salah satu penyebab lesunya industri ritel dalam negeri. Di mana belakangan ini, terdapat perusahaan ritel yang gulung tikar, toko-toko di mal mulai tutup, kredit perbankan melambat, dan lain-lain.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, perkembangan teknologi digital terlihat telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat yang ingin mendapatkan layanan serba cepat. “Landscape ekonomi juga berubah, interaksi sosial juga akan berubah. Nasional juga akan berubah,” kata Jokowi, seperti dilansir Liputan6.
Menurut Jokowi, terkait ekonomi yang saat ini juga sangat berubah, diakui terdapat tingkat penurunan daya beli masyarakat yang lebih disebabkan karena adanya pergeseran pola beli masyarakat. “Setelah dicek detail, ada pergeseran dari offline ke online,” kata Jokowi.
Menurutnya, jumlah penjualan di gerai-gerai swalayan dan mal banyak yang turun. Hal itu karena perpindahan cara belanja masyarakat menggunakan sistem online serta media sosial. Selain penjualan barang, Jokowi juga mengingatkan perubahan gaya hidup akan berdampak kepada media karena masyarakat akan memanfaatkan gawai miliknya untuk melihat berita maupun acara hiburan.
“Sekarang kita berbicara angka, ya. Saya kasih angka PPN akhir Agustus kemarin naik 12,14%. PPN itu apa sih, aktivitas ekonomi, jual-beli yang dipotong kan ada kenaikan 12,14%. Artinya apa? Ya, ada aktivitas ekonomi jual beli direkam oleh PPN ini. Jasa kurir ini ada pergeseran offline ke online, jasa kurir naik 130%. JNE, kantor pos, DHL, naik 130% ini ada shifting pergeseran offline ke online. Jadi kalau kita lihat ada pola belanja yang berubah. Ada pergeseran pola belanja,” jelas Jokowi, seperti dikutip Detik.
Pergeseran pola belanja ini, kata Jokowi, belum terdeteksi secara maksimal. Sehingga tampak seperti masyarakat mulai kurangi belanja, padahal yang sebenarnya tidak demikian.
“Dan itu enggak hanya dengan toko online gede-gede, sekarang rumah tangga individu bisa pajang produk di Instagram dan Facebook, ini belum bisa terdeteksi, ya. Jadi, saya optimistis, pertumbuhan ekonomi angkanya bisa di atas 5%,” ucapnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Pemerintah tidak menutup mata tekait dengan pola konsumsi masyarakat yang selama ini dianggap melemah lantaran pertumbuhannya sangat tipis pada kuartal II-2017.
“Bagi Pemerintah, yang paling penting bukan tidak mengatakan, oh, ini tidak apa-apa. Kami waspada, dan kami mencoba berikhtiar mencari data-data yang makin reliable sehingga Pemerintah mampu beraksi atau mengantisipasi,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip Detik.
Seperti diketahui, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh ke level 4,95% dari kuartai I-2017 yang sebesar 4,94%. Konsumsi rumah tangga juga menandakan daya beli masyarakat. Tumbuh tipisnya konsumsi rumah tangga juga dikaitkan oleh banyaknya pusat perbelanjaan yang tutup akhir-akhir ini lantaran sudah mulai ditinggalkan para pelanggannya.
Menurut Sri Mulyani, tumbuh tipisnya konsumsi rumah tangga lantaran adanya perubahan konsumsi pada generasi milenial. “Sekarang generasi milenial atau generasi Z dalam hal ini, seperti yang disampaikan Bapak Presiden dalam hasil semua survei bahwa memang mereka tidak mengkonsumsi baju, sepatu sama seperti generasi kami baby boomers. Tapi mereka selalu update terhadap aplikasi dalam software, itu terutama anak-anak perkotaan, ini karena lebih kepada experience dan integrated,” jelas Sri Mulyani.
Namun, perubahan pola konsumsi bagi generasi milenial ini belum ditangkap oleh statistik ekonomi nasional, sehingga tidak masuk dalam hitungan konsumsi rumah tangga yang menjadi salah satu faktor penyumbang pertumbuhan ekonomi.
“Banyak kegiatan ekonomi itu belum ter-capture di dalam statistik yang kita dalam hal ini jumlah maupun jenis konsumsinya masih tergantung 10 tahun survei yang sebelumnya, dan ini yang akan menjadi salah satu prioritas kita,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengungkapkan, Pemerintah ke depan akan tetap menelusuri penyebab rendahnya daya beli masyarakat di saat pertumbuhan ekonomi nasional masih dalam angka yang positif.
“Dunia sekarang menghadapi teknologi yang sangat cepat berubah, dan teknologi itu penetrasinya sangat besar di dalam kehidupan, dan mempengaruhi gaya hidup dan bisnis proses,” katanya.
Namun, Pengamat Ekonomi Faisal Basri menyatakan, fenomena terjadi di Indonesia saat ini adalah penurunan konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Akan tetapi, menurutnya, secara keseluruhan daya beli masyarakat tidak menurun.
“Tidak ada kejadian luar biasa yang menyebabkan daya beli masyarakat secara nasional mengalami penurunan,” kata dia sebagaimana dilansir Liputan6.
Faisal mengungkapkan, penurunan omzet atau laba hingga penutupan beberapa outlet ritel modern dan pusat perbelanjaan tidak bisa dijadikan acuan terjadinya penurunn daya beli masyarakat.
“Begitu banyak ragam barang dan jasa serta berbagai kelompok pendapatan. Sangat boleh, jadi penjualan beberapa produk turun dan daya beli kelompok pendapatan tertentu juga turun. Tetapi secara keseluruhan naik, yang tercermin dari peningkatan riil konsumsi masyarakat sekitar 5%, sementara secara nominal naik sekitar 8%,” kata Faisal menjelaskan.
Sementara indikasi penurunan konsumsi kelompok masyarakat menengah ke atas dinilai hanya untuk berjaga-jaga. Hal ini dilihat dari kenaikkan nilai tabungan di perbankan. Di mana porsi pendapatan yang ditabung pada kuartal II-2017 meningkat menjadi 20,77% dari 18,6% pada kuartal II-2016. Selain itu, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) naik tajam sejak Oktober 2016 dan mencapai dua digit yaitu 11,2% pada Mei 2017.
“Ada pula yang beralih ke belanja online atau e-commerce. Tetapi porsinya masih relatif kecil, tidak sampai 2% dari bisnis ritel secara total,” kata dia.
Menurunnya daya beli masyarakat dalam dua kuartal pertama tahun ini, memang masih menjadi tanda tanya. Pasalnya, kalau dilihat dari aktivitas transaksi terkait dengan perkembangan era digital, terlihat bahwa telah terjadi pergeseran karakter dari offline ke online. Yang menjadi pertanyaan, mengapa isu menurunnya daya beli, kerap dikaitkan dengan lesunya industri dalam negeri saat ini. (DD)