Membangun sebuah perusahaan startup, pastinya tidak terlepas dari bagaimana strategi dalam membuat sistem manajemen yang baik untuk kelansungan usaha. Banyak keputusan dalam fase ini bisa menjadi penentu keberlanjutan usaha di samping persaingan dan kondisi ekonomi yang kadang membutuhkan usaha ekstra untuk menghadapinya.
Dalam acara Tech in Asia Meetup Jakarta, seperti dilansir Techinasia.com, beberapa waktu lalu, dua pakar dunia startup hadir untuk berbagi formula rahasia yang akan membantu manajemen perusahaan. Mereka adalah Bernardus Sumartok, CEO dari Tripvisto, dan Agung Nugroho yang merupakan COO dari Kudo.
Berdasarkan pengalaman menjalankan startup yang telah tumbuh dari 2 orang ke 400 orang kru, Agung bercerita bahwa startup pasti akan menjalani tantangan yang berbeda-beda. Tapi pada pokoknya, ada empat hal di perusahaan yang harus selalu di pikirkan, yaitu people, product, process, serta culture and communication.
“People selalu nomor satu, karena tanpa people kita tidak bisa membangun apa pun,” kata Agung.
Menurut Agung, ada kalanya startup sudah punya tenaga (sumber daya manusia/SDM) untuk membuat produk dari awal. Jadi perlu merekrut orang bahkan sebelum punya produk, atau yang disebut Agung sebagai “employee minus one”.
Untuk perekrutan awal, kata Agung, dibutuhkan ketelitian dan kematangan, bahkan bila perlu, cari tenaga hingga ke luar kota atau luar negeri sampai benar-benar menemukan yang ideal. Butuh waktu lama memang, bahkan Kudo pun harus menyeleksi hingga tiga puluh kandidat sebelum akhirnya merekrut kru. Tapi menurut Agung, hasilnya akan sebanding.
Bagaimana cara manajemen SDM startup merekrut tenaga yang ahli ketika belum punya uang? Di sinilah founder harus punya kemampuan untuk “menjual” mimpi dalam wujud yang nyata.
Bentuk nyata tersebut, kata Agung, salah satunya berupa penawaran kepemilikan saham perusahaan atau ESOP (Employee Stock Ownership Plan) bagi lima sampai sepuluh kru pertama. Saat ini sebagai perusahaan baru mungkin tidak ada nilainya, tapi bila mau tumbuh bersama, para calon kru ini kelak mendapat keuntungan dari saham yang lebih mahal. Mereka tidak hanya datang sebagai karyawan, tapi juga ikut memiliki perusahaan layaknya investor.
Sementara itu, Bernardus Sumartok, CEO dari Tripvisto, mengatakan, bahwa People atau SDM memang merupakan unsur paling penting dalam startup, apalagi yang masih baru. “Tapi terlalu memanjakan SDM juga bisa berdampak buruk,” katanya.
Baik ketika merekrut karyawan atau mengembangkan produk, menurut Sumartok, harus ingat untuk fokus pada solusi, bukan sekadar gaya. “Mungkin kamu tergiur untuk merekrut orang bergelar VP of Engineering dari perusahaan saingan, atau mungkin kamu beranggapan bahwa produk milikmu harus menggunakan teknologi termutakhir di semua aspek. Coba mundur sejenak dan bertanya, apakah semua itu perlu?” ujar Sumartok.
Pada kasus perekrutan dalam manajemen SDM startup, menurut Sumartok, “Experience itu benar-benar overrated. Pengalaman dan titel-titel aneh itu tidak dibutuhkan oleh startup baru. Malah ketika merekrut orang dari perusahaan besar, ia bisa tidak cocok dengan kultur startup kecil yang pas-pasan. Daripada fokus pada titel, lebih baik cari orang dengan kemampuan sesuai kebutuhan,” ucapnya.
Para founder yang biasanya juga memegang manajemen SDM startup, lanjut Sumartok, harus bisa meyakinkan kru bahwa meskipun produk tidak berjalan sekarang, visi mereka tetap sama dan bukan berarti gagal.
Dunia startup adalah dunia kompetisi dengan aturan yang tidak adil. Manajemen SDM startup yang diterapkan oleh kompetitor sukses belum tentu cocok juga untuk sebuah perusahaan. Oleh karena itu, Sumartok berpesan, “Jangan bermain dengan buku aturan milik kompetitor”.
Sementara itu, dalam keterangan yang dikutip Liputan6.com, Reno Rafly, CEO Catalyst Bold, konsultan sumber daya manusia (SDM) spesialis startup di New York dan Indonesia mengatakan, banyak yang terjebak menentukan si A cocok di posisi B, atau si B cocok di posisi C, dan seterusnya.
“Padahal yang benar adalah definisikan dan inventarisasi kebutuhan perusahaannya apa dulu. Baru setelah itu dicocokkan dengan orang per orang, lihat kesesuaian skill dan pengetahuannya,” kata Reno.
Dengan memetakan kebutuhan perusahaan terlebih dulu, tugas dan fungsi dari seseorang di sebuah startup akan tajam. Bahkan tak menutup kemungkinan, satu orang akan memangku dua posisi karena skill dan pengetahuannya paling memadai.
Tips berikutnya adalah startup jangan pernah mencari karyawan yang sekadar pintar. Lebih penting dari semuanya adalah mencari yang paling mau bekerja keras dengan keinginan belajar paling tinggi. Kerap terjadi, karyawan pintar semata malah menyusahkan karena bekerja tidak total dan cenderung meremehkan.
“Kiat lain yang banyak dilupakan startup adalah cara mengatasi konflik. Contoh kecil dalam mengambil keputusan. Dalam kondisi tertentu, dari awal disepakati tertulis harus ada voting. Suara terbanyak diambil, sehingga konflik diredam dari awal. CEO tak selalu dominan, tak selalu memaksakan keputusan,” tutur Reno.
Startup, lanjut Reno, akan banyak berisikan SDM kelompok generasi milenial. Mereka selalu terhubung ke internet dan cenderung energik serta serba tahu. Manajemen harus mampu memunculkan kepercayaan dan memenuhi ekspektasi mereka dalam meningkatkan keahlian.(DD)