Selain memiliki kecakapan dalam melakukan komunikasi, praktisi Public Relations (PR) juga harus terampil dalam menjalankan strategi negosiasi dengan berbagai pihak baik internal maupun eksternal perusahaan. Seringkali di dalam praktik komunikasi tidak jarang muncul hal-hal yang dapat menghambat tercapainya sebuah tujuan bersama. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang baik agar tercipta solusi yang benar.
Proses dalam melakukan negosiasi seringkali berjalan alot dan memakan waktu yang lama. Bahkan perlu lobi yang teramat panjang. Ini bisa dimaklumi apabila terdapat banyak kepentingan di dalamnya yang semuanya ingin mendapatkan hasil yang memuaskan. Disinilah peran penting sosok PR dalam bernegosiasi guna menemukan titik kompromi dari banyak pihak agar tujuan bisa tercapai.
Negosiasi bisa diartikan sebagai proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah atau tidak mengubah sikap dan perilaku orang lain. Sedangkan pengertian yang lebih terinci menunjukkan bahwa negosiasi adalah proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu sama lain.
Negosiasi, baik yang dilakukan oleh seorang pribadi dengan pribadi lainnya, maupun negosiasi antara kelompok dengan kelompok (atau antar pemerintah), senantiasa melibatkan pihak-pihak yang memiliki latar belakang berbeda dalam hal wawasan, cara berpikir, corak perasaan, sikap dan pola perilaku, serta kepentingan dan nilai-nilai yang dianut.
Pada hakikatnya negosiasi perlu dilihat dari konteks antar budaya dari pihak yang melakukan negosiasi, dalam artian perlu komunikasi lisan, kesedian untuk memahami latar belakang, pola pemikiran, dan karakteristik masing-masing, serta kemudian berusaha untuk saling menyesuaikan diri. Terkadang dalam bernegosiasi perlu melakukan pendekatan agar tercapai kesepahaman maksud dan pikiran.
Penulis buku Teori Pembuatan Keputusan, Fachmi Basyaib menyebut, bahwa pendekatan dilakukan untuk mencari alternatif agar terjadi kesepakatan atau dikenal best alternatif to negotiated agreement (BATNA). BATNA inilah yang menjadi batas bawah dalam menentukan hasil minimal yang diharapkan dalam suatu negosiasi.
Namun demikian, seorang PR hendaknya mengejar target maksimal dalam mencapai kesepakatan dalam bernegosiasi. (Basyaib, 2006 : 239 ). Nah, biasanya praktisi PR melakukan tiga pendekatan dalam negosiasi. Berikut penjelasannya.
Soft Bargaining
Soft bargaining melibatkan bentuk negosiasi yang menitikberatkan pada posisi (menang/kalah), dibandingkan kepentingan dari diadakannya negosiasi itu sendiri. Akan tetapi, untuk menghindari masalah-masalah yang kerap muncul dalam perundingan yang melibatkan posisi, para negosiator akan melakukan pendekatan “soft” seperti memperlakukan lawan bicaranya sebagai teman, mencari kesepakatan dengan harga apapun, dan menawarkan sebuah hasil perundingan atas dasar penciptaan hubungan yang baik dengan lawan bicara.
Hard Bargaining
Sebagaimana yang sudah diutarakan pada bagian soft bargaining, hard bargaining juga menitikberatkan pada posisi dibanding kepentingan dari perundingan yang terjadi. Negosiator dengan pendekatan semacam ini sangatlah bersifat kompetitif, dengan melihat kemenangan sebagai satu-satunya tujuan akhir.
Principled Negosiation
Memisahkan pelaku dari masalah berarti meniadakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah personal dari isu inti, dan bila memang ingin dibicarakan, sebaiknya dibicarakan secara independen. Masalah personal/orang umumnya akan melibatkan masalah yang berkaitan dengan persepsi, emosi dan komunikasi.
Sebagai wakil dari organisasi atau perusahaan, figur PR harus memiliki bersikap diplomatis dalam melakukan komunikasi dengan banyak pihak. Hal ini dilakukan agar sosok PR dapat terus menjembatani kepentingan perusahaan dengan para stakeholder-nya. Melalui pendekatan dalam negosiasi, seorang PR akan mampu mengelola berbagai permasalahan dan melakukan perundingan tanpa menimbulkan permusuhan. (AHM)