Pertamina Berhasil Hilangkan Potensi Kerugian Rp22,79 Miliar di Blok Offshore North West Java

ilustrasi
Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ, di lepas pantai Jawa Barat bagian Utara | Dok. Pertamina

PT Pertamina (Persero) terus menjaga irama produksi dalam mengelola lapangan minyak dan gas bumi (migas) di seluruh Indonesia. Hal tersebut dibuktikan Pertamina pada Blok Offshore North West Java (ONWJ) dengan keberhasilannya menghilangkan potensi kerugian sebesar Rp22,79 miliar.

Meski lapangan migas yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ, di lepas pantai Jawa Barat bagian Utara, ini telah termakan usia, namun Pertamina tetap terus mempertahankannya sebagai backbone produksi migas.

Kinerja apik PHE ONWJ dalam mengelola blok migas tersebut, merupakan buah dari kerja keras dan cerdas seluruh jajarannya, dalam mengatasi setiap tantangan operasi. Contoh, masalah tersumbatnya pipa alir bawah laut dari “BNA” Platform menuju “BL” Platform di area Bravo. Penyumbatan jalur pipa tersebut, menyebabkan kehilangan produksi sebesar 34.294 barrel oil equivalent (BOE) atau setara Rp22,79 miliar karena unplanned shutdown.

Menurut Production Facility Maintenance Supervisor West Area PHE ONWJ, Hans Safready, yang bertanggung jawab dalam mencarikan solusi mengatasi masalah itu, penyebab pipa alir tersumbat dikarenakan adanya akumulasi pasir yang ikut terproduksi dari sumur BNA-11. Sumur ini tidak dilengkapi dengan fasilitas sand screen atau gravel pack untuk menyaring pasir, karena ketika awal produksi (April 2013) kandungan basic sediment & water (BS&W) sumur BN-11 adalah 0%.

Setelah berproduksi sekitar setahun setengah, pada Oktober 2014 diketahui kandungan BS&W sumur BNA-11 naik hingga 35%. Sejak saat itu, sumur BNA-11 dijaga produksinya agar pasir tidak terakumulasi secara massive ke permukaan. Namun, pasir yang terproduksi sedikit demi sedikit itu, menumpuk dan terbawa sampai ke pipa alir.

Hal lain, keterbatasan jumlah pekerja membuat kontrol BS&W di anjungan tidak optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibentuklah tim yang bertugas melakukan rekayasa teknik dan aplikasi Flowline Sand Removal (FSR).

“Sistem ini memiliki keunggulan biaya dan waktu modifikasi yang lebih cepat dengan keandalan yang mumpuni,” jelas Hans, dalam keterangannya yang dilansir laman Pertamina, Sabtu (15/9/2018).

Hans menjelaskan, inovasi rekayasa teknik dan aplikasi sistem FSR dilaksanakan melalui penahapan dan kriteria engineering meliputi pengambilan sample fluida, test BS&W, analisa lab ukuran partikel pasir, perhitungan volume pasir, perhitungan ukuran mesh wire, dan evaluasi konfigurasi flowline yang sudah terpasang.

Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan hasil cukup signifikan di antaranya: (1) ancaman erosi pada pipa alir dapat diatasi lewat rekayasa penggantian elbow dengan tee end blind, (2) pasir yang terproduksi akan tersaring pada basket mesh yang sudah dipasang pada flowline, (3) untuk perawatan sistem ini dilengkapi dengan removable cap sehingga mudah saat dilakukan pembersihan.

Setelah pemasangan sistem FSR di pipa alir, lanjut Hans, terbukti cara ini mampu menyaring pasir terproduksi hingga 83% dan tekanan jaringan pipa bawah laut Anjungan BNA-BL terjaga fluktuasinya antara 55-60 psi, dari sebelumnya 60-80 psi.

“Selain itu, terjadi kenaikan produksi minyak pada sumur BNA-11 hingga 72 barel per hari, dan yang paling penting potensi kerugian Rp22,79 miliar akibat unplanned shutdown bisa dihilangkan,” tutup Hans.(DD)