Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) di paruh pertama tahun ini, sejatinya sudah bisa tinggal landas dengan menunjukkan pertumbuhan laba. Namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, maskapai penerbangan milik negara ini malah membukukan laba priode triwulan pertama 2016 terkoreksi 91,03% atau US$ 1,02 juta, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, year on year tercatat US$ 12,19 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia M. Arif Wibowo mengatakan, penurunan laba tersebut karena sejumlah faktor, salah satunya penurunan pencapaian operasional akibat persaingan harga di pasar domestik.
"Garuda berusaha mempertahankan 'full service'. Namun, terdapat 'gap' harga kita itu bedanya 1,5 sampai dua kali lipat dengan kompetitor," katanya di Jakarta, kemarin (17/4).
Kendati demikian, Garuda akan mempertahankan pelayanan maskapainya sebagai "full service" dan maskapai bintang lima dalam koridor yang aman. Perseroan mengklaim dari segmentasi, Garuda masih kuat meskipun 'yield'-nya turun. Garuda, kata Arif, akan konsisten pada 'full service' dan tetap diyakini akan tumbuh dengan baik.
Selain itu, pernurunan laba di triwulan pertama tahun ini juga dipicu "low season" atau aktivitas penerbangan tengah melesu. Kendati demikian, menurut Arif, perseroan masih bisa berekspansi di tengah pasar yang sepi, yakni mendatangkan tiga pesawat berbadan lebar (wide body) dan dua pesawat berbadan sempit (narrow body) untuk Garuda dan empat pesawat untuk Citilink.
"Dalam satu pengelolaan korporasi itu biasa, tetapi dengan 'low season' ini kami berani melakukan ekspansi dan kategorinya positif," katanya.
Dari segi total pendapatan operasional, Garuda di kuartal pertama tahun ini membukukan US$ 684,94 juta atau turun 10,10% dari periode sama 2015, yaitu US$ 761,91 juta. Perinciannya, pendapatan dari penerbangan berjadwal triwulan I 2016, yaitu US$ 655,5 juta atau turun 7,63% dari US$ 709,69 juta pada periode yang sama 2015.
Pendapatan penerbangan tidak berjadwal juga anjlok 64,84% menjadi US$ 10,69 juta dari periode yang sama 2015 sebesar US$ 30,39 juta. Sementara itu, pendapatan lain-lain, yakni jatuh sebesar 14,32% menjadi US$ 18,71 juta dari periode yang sama 2015 sebesar US$ 21,83 juta. Jumlah penumpang juga mengalami penurunan pada triwulan pertama 2016 sebesar 4,08% atau 5,3 juta penumpang dibanding periode sama 2015 5,4 juta penumpang.
Tingkat keterisian (load factor) juga mengalami penurunan 7,26% pada triwulan pertama 2016 atau 69% dibanding periode yang sama tahun 2015 sebesar 74,40%. Maka guna memacu pertumbuhan bisnis tahun ini, Garuda Indonesia akan menggenjot pasar kargo yang selama ini tidak begitu dioptimalkan lantaran lebih fokus pada pasar penumpang.
Arif Wibowo menuturkan, bisnis kargo ditargetkan mampu memberi kontribusi mencapai 20% terhadap total pendapatan Garuda Indonesia. "Kami harapkan kargo ini akan menjadi tumpuan kami sampai 20%, sekarang masih di bawah 10%," katanya.
Ke depan diharapkan pendapatan dari kargo bisa mencapai US$ 1 miliar dari yang saat ini baru US$ 250-300 juta. "Nantinya kami juga bisa malayani bukan hanya 'port to port' (antarbandara), tapi 'door to door' (antardestinasi)," paparnya.
Untuk mewujudkan hal itu, dia mengatakan, pihaknya akan menjalin kerja sama dalam bentuk baik itu "joint operation" atau "joint venture" (usaha patungan), misalnya dengan PT Pos Indonesia.
Namun, lanjut Arif, tidak tertutup kemungkinan akan menjalin kerja sama juga dengan perusahaan internasional. Disebutkan, pasar internasional untuk kargo yang paling besar, yakni Shanghai, Jepang dan Eropa bisa 13 sampai 15 ton per hari. Kemudian berdasarkan hasil rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) memutuskan untuk menambah direktur, yaitu Direktur Kargo yang dijabatb oleh Sigit Muhartono.