Seperti mata air di tengah padang pasir, begitu kira-kira berita yang beredar pada siang ini (5/4). Betapa tidak, di tengah maraknya berita kasus korupsi yang menjerat banyak pejabat, tiba-tiba beredar berita yang menyejukkan, tentang seorang putra bumi yang justru menjadi pembayar pajak terbesar di Tanah Air. Dia adalah Arifin Panigoro. Sungguh sikapnya patut diteladani.
Bos PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) ini mendapatkan apresiasi dan penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar pada 2015 dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam acara Apresiasi dan Penghargaan Wajib Pajak yang diselenggarakan oleh DJP di Aula Chakti Budi Bhakti, Gedung Utama DJP Jakarta, hari ini (5/4). Ia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang diberikan penghargaan pada kesempatan ini.
Dalam sambutannya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, Arifin telah membayar pajak sesuai ketentuan dan aturan.
"Pada kesempatan khusus ini saya ucapkan apresiasi kepada Arifin Panigoro karena Arifin bukan sebagai pimpinan Medco, tapi sebagai individu yang membayarkan pajak dan bukan sebagai wakil pembayar pajak perusahaan," katanya di hadapan peserta acara tersebut.
Kepada detik.com, Arifin enggan mengungkapkan nominal pajak pribadi yang dibayarkan kepada negara. Menurutnya, penghargaan ini lebih menekankan kepada tingkat kepatuhan.
"Tidak banyak, cuma patuh saja. Jadi makanya tidak mau sebutkan angkanya," ungkapnya seusai menerima apresiasi dan penghargaan wajib pajak tersebut.
Apalagi bila dibandingkan dengan perusahaan yang dinaunginya, yaitu Medco, Arifin mengungkapkan pajak yang dibayarkan jauh lebih sedikit.
"Yang nyetor banyak kan perusahaan," katanya.
Acara Apresiasi dan Penghargaan Wajib Pajak itu sendiri merupakan ajang penghargaan kepada Wajib Pajak (WP) yang sudah berkontribusi membayar pajak kepada negara. Apresiasi dan penghargaan diberikan kepada para WP yang terdaftar di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar selama tahun pajak 2015.
Berdasarkan data pajak tahun 2015, kontribusi WP yang terdaftar di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar mencapai Rp338,85 triliun atau hampir 32 persen dari total penerimaan pajak nasional. Ada 24 WP Besar menjadi pemenang ajang apresiasi itu. Dari total tersebut, hanya satu WP Pribadi yang menjadi pembayar pajak terbesar, yaknini Arifin Panigoro, sisanya adalah WP Badan Usaha.
Posisi pertama ditempati oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA), disusul PT Astra Sedaya Finance, The Hongkong and Shanghai Banking Corp Ltd, PT Adaro Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT Astra Daihatsu Motor, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Krama Yudha Tiga Berlianmotors, PT Samsung Electronics Indonesia, dan PT Jawa Power.
Selanjutnya, posisi ke-13 ditempati PT Pertamina (Persero), diikuti PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, PT Bio Farma (Persero), PT Kimia Farma (Persero) Tbk, PT Pupuk Indonesia (Persero), PT Perkebunan Nusantara III, Bank Indonesia, PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Satu-satunya WP Pribadi yang muncul dalam 24 pembayar pajak terbesar itu adalah Arifin Panigoro.
Mengenal Arifin Lebih Dekat
Nama Arifin Panigoro sangat familiar di dunia bisnis maupun politik Indonesia. Dalam website yang memuat tokoh-tokoh di Indonesia, tokohindonesia.com, diceritakan, alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Hingga suatu ketika, ia melihat kenyataan bahwa bila ada proyek yang berdiameter besar, maka hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing, karena umumnya pengusaha asinglah yang memiliki peralatan berat untuk memasang pipa. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang.
Ia pun berpikir keras. Menurutnya, sebaiknya pengusaha lokal diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerjasama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan berat itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu, dengan peralatan berat tersebut, ia mulai percaya diri mencari proyek ke mana-mana.
Menurutnya pula, dalam menangani proyek besar, selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang
bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Wiharso tersingung dan batal. Lalu Wiharso meminta Arifin menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar. Jika tidak, maka maka uang muka sebesar 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat tersebut. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Setiba di Indonesia, ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Wiharso memberikan rekomendasi bahwa Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah. Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing.
Dari cuplikan kisah Arifin di atas, kita pun dapat menarik kesimpulan, bahwa Arifin sebagai pengusaha memang dibesarkan oleh pemerintah. Tak mengherankan bila ia pun menjadi pengusaha sekaligus warga negara yang baik yang taat membayar pajak. Ibarat pepatah, ia seperti kacang yang tidak lupa terhadap kulitnya.