Tren Digital PR Indonesia

Ilustrasi
Ilustrasi | Nugroho/Annualreport.id

Digitalisasi membuat dunia semakin “cair”, termasuk dalam hal memperoleh informasi. Peluang ini dimanfaatkan oleh praktisi PR. Mereka berbenah, membangun reputasi dengan cara memperkuat owned media. Yakni, memaksimalkan media internal yang mereka miliki baik cetak, laman resmi, maupun media sosial. Hingga kemudian muncul istilah baru yaitu "digital PR", "elektronik PR” (e-PR) atau “PR Online”.  Secara istilah, digital PR, e-PR, PR Online, adalah aktivitas kehumasan yang dilakukan melalui media internet.

Demikian rangkuman hasil diskusi Perhumas Coffee Morning di Jakarta, Jumat (28/7/2017), dari tiga pemateri, yaitu Marketing and Communication Director Accenture Indonesia Nia Sarinastiti, Director of Business Development Ogilvy PR Vishnu Mahmud, dan Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin.   

Digital PR merupakan perluasan lingkup kerja public relations, bukan perubahan lingkup kerja. Perluasan yang dimaksud, contohnya, media relations. Awalnya, PR berhubungan dengan media cetak dan elektronik saja, namun sekarang bertambah, praktisi PR juga harus membina hubungan baik dengan media online seperti Okezone.com, Detik.com, dan lainnya.

Perluasan lainnya yaitu praktik PR secara konvensional tetap dilakukan, seperti penyelenggaraan event, konferensi pers, pembuatan press release, dan lain-lain, namun dalam praktiknya, ada penambahan tools yang digunakan seperti media social activation, website activation, dan lain-lain.

Kelebihan digital PR itu sendiri adalah praktik PR melalui platform digital dinilai lebih efektif, karena dilihat dari fakta yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pengguna internet di Indonesia terus meningkat dan zaman sekarang, ketika seseorang mencari informasi mengenai apapun, hal pertama yang dilakukannya adalah mencari tahu melalui internet. Selain itu, dapat menghemat waktu dan biaya juga. Kampanye PR dapat dilakukan melalui internet secara gratis dibandingkan menggunakan media lain seperti televisi, radio, surat kabar dan lainnya yang membutuhkan biaya untuk dapat dimuat. Informasi yang diberikan pun dapat menyebar dengan sangat cepat.

Namun digital PR juga memiliki kekurangan. Informasi dapat menyebar dengan sangat cepat, sehingga ketika informasi yang diberikan mengandung kesalahan atau sesuatu yang negatif, akan sulit untuk menariknya kembali. Meskipun langsung dihapus, namun bukan hal yang tidak mungkin ada orang yang sudah melihatnya dan bisa saja menyebarkannya kembali. Selain itu, saking luasnya dunia internet dan penggunanya yang heterogen juga anonim, informasi yang tersebar dapat berupa rekayasa dan sulit dipertanggungjawabkan.

Kegiatan digital PR ini sudah dilakukan dan diterapkan oleh banyak praktisi PR di Indonesia, seperti PR di lembaga dan perusahaan pemerintah, para konsultan PR dan PR agencies di Indonesia seperti FortunePR, Edelman, AsiaPR, dan lain-lain.

Salah satu yang serius menekuni digital PR adalah jajaran Government Public Relations (GPR) melalui Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).

Dirjen Informasi Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Rosarita Niken Widiastuti, sebagaimana dikutip prindonesia.com, GPR sekarang sedang mengembangkan digital PR, agar bisa mempromosikan semua capaian dan kebijakan pemerintah melalui kanal digital.

Menurutnya, di era konvergensi, suka tidak suka siapapun yang ingin pesannya efektif memang harus masuk ke digital. Tak hanya menyebarkan narasi tunggal melalui media sosial, tahun ini Dirjen IKP juga bakal meluncurkan Jaringan Pemberitaan Pemerintah (JPP), sebuah portal yang dibuat layaknya newsroom untuk mewartakan berbagai pencapaian kinerja dan denyut kegiatan pemerintah.

Dalam diskusi PR Indonesia Outlook 2017 dengan tema “How to Win Corporate Credibility & Trust in Disruptive Era” yang berlangsung di Belitung, awal Desember 2016 lalu, Kepala Opini Publik Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Anjari Umarijanto mengungkapkan, digital PR memang akan makin mendominasi dunia PR tahun 2017. Apalagi menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI), di Indonesia kini ada 132 juta pengguna internet dan 75 persennya memiliki akun media sosial.

Menurut Anjari, tahun ini ada lima tren digital PR yang akan berkembang. Pertama,  generasi Z akan menjadi bintang utama.

“Kalau organisasi kita ingin ada dalam gelombang informasi yang disruptif ini, maka kita harus mendengarkan dan berkomunikasi dengan cara generasi Z,” kata Anjari.

Kedua, the power of emotions. Contoh dari tren ini adalah gerakan santri dari Ciamis yang berjalan kaki ke Jakarta untuk mengikuti aksi 212 pada 22 Desember 2016 lalu. Mereka melakukan perlawanan dengan cara yang menginspirasi. Tidak mengherankan jika video perjalanan mereka yang diunggah di media sosial menjadi viral.

Ketiga, data driven communication. Di era digital PR, meme atau infografis berbasis data akan menjadi perhatian publik.

“Jika ingin mencuri perhatian publik, PR harus mampu menciptakan data driven communication. Dengan berbasis data kita juga bisa membuat pesan kunci yang punya kill factor,” katanya.

Keempat, rich media content. Di era digital, kita tidak bisa hanya mengandalkan gaya lama dengan hanya pakai press release. Kini, cara yang lebih efektif adalah dengan memberikan rich media content kepada audiens, mencakup video, foto, teks, dan data yang dikemas dengan sangat bagus.

Kelima, live video. Facebook misalnya kini juga menyediakan layanan live streaming video. Banyak tokoh yang memanfaatkan layanan ini seperti Ridwan Kamil. Dalam waktu real-time ia bisa menjangkau seluruh audiens atau fansnya di Facebook.

“Tren ini akan makin banyak digunakan tahun ini,” katanya.

Mendominasinya teknologi digital juga diakui oleh Head of PR Indosat Ooredoo Deva Rachman saat menjadi pembicara PR and Social Media Trend 2017 yang digelar Perhumas di Auditorium Wisma Antara, Jakarta, Jumat (16/1/2017).

Dengan jumlah pegawai dari generasi millennial sebanyak 60 persen, cara berkomunikasi Indosat Ooredoo juga berubah dari cara tradisional menjadi serba digital dan media sosial.

“Di Indosat kami berkomunikasi menggunakan Line dan Whatsapp. Banyak keputusan penting kita buat lewat diskusi di grup Whatsapp. Ini lebih cepat dibanding meeting langsung,” ujarnya seraya mengatakan bahwa saat ini kini kita berada di era mobile first philosophy.

Deva memprediksi, tiga tahun lagi pendorong utama perubahan di era digital adalah penetrasi telepon pintar yang akan mencapai 70 persen. Selain itu, pengguna mobile messenger yang sebanyak 120 juta, lalu pengguna mobile map  95 juta, dan diaplikasikannya internet of things dalam kehidupan sehari-hari.

Digital mengubah perilaku kita mulai dari apa yang ditonton, dicari, cara berkomunikasi, dan cara berbelanja. Singkat kata digital life sekarang ada di mana-mana.

Yang bakal menjadi gelombang digital ke depan adalah PR harus punya bisnis model yang kolaboratif baik ke pemerintah, LSM, maupun masyarakat secara luas. Dan, dengan internet of the things, maka bisa terhubung dan memonitor isu apapun.

“Jika dulu setiap pagi kita monitor koran, sekarang memonitor digital,” kata Deva.

Tren lain yang perlu diperhatikan PR, lanjut Deva, adalah CEO masih tetap menjadi juru bicara terbaik perusahaan. Influencer lebih dipercaya dibanding PR dan peran kontributor marketing makin menggantikan media konvensional yang terus turun. “Pada akhirnya kita harus tahu bahwa kita harus mengedepankan kejujuran dan etika, sebagaimana profesi lain menjunjung etika,” katanya.

Sementara itu, menurut Direktur Digital dan Teknologi Burson Marsteller Harry Deje, di tengah membanjirnya informasi di media sosial, praktisi PR harus menempatkan dirinya sebagai publisher. Di samping itu, PR juga perlu memaksimalkan teknologi content visual yang canggih seperti  virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).

PR juga perlu mencermati digital crisis yang sekarang sudah menjadi hal biasa (business as usual) di era digital. PR harus selalu siap dengan issue prepareness, issue management, dan crisis management.

Diseminasi digital kini memang tak dapat dielakkan, tapi PR harus membuat transformasi digital. Hal itu bisa dilakukan dengan empat langkah. Pertama, praktisi PR mesti meningkatkan kapasitasnya. Kedua, mengetahui bagaimana memaksimalkan kanal dan infrastruktur digital untuk PR.

“Salah satu perubahan yang kita lakukan adalah kebutuhan Chief Communication Officer (CCO). Itu sangat membantu sehingga CEO bisa fokus ke bisnis,” katanya.

Ketiga, live and breathe the digital lifestyle. “Kita sebagai orang dewasa, walaupun tidak sepaham dengan generasi milenial, mesti belajar dari mereka. Kita harus bisa menjiwai digital, kalau tidak kita tidak akan bisa berhasil,” ujarnya.

Keempat, jika selama ini PR masih dianggap sebagai supporting function, maka langkah untuk membuat lebih strategis dengan mengintegrasikan atau berkolaborasi dengan divisi lain seperti marketing, sales, finance, dan HRD.

“Bagaimana kita menjadi leader untuk integrasikan itu semua menjadi digital. Karena divisi lain tidak punya visi ini. Jadi kita mesti berani maju dan bilang kita akan dukung,” katanya.

Selain itu, ada tiga keunggulan dari digital PR. Pertama, mempunyai kantor 24 jam. Berbeda dengan PR Offline yang biasanya dibatasi jam dan hari kerja, maka digital PR berlangsung 1x24 jam dan 7 hari dalam seminggu. Website dan media sosial perusahaan atau instansi menjadi "kantor" yang selalu buka selama 24 jam setiap hari.

Kedua, bisa merespons dengan cepat. Praktisi atau petugas digital PR menjadi semacam "tim reaksi cepat" yang siaga merespons order, masukan, keluhan, kritikan, atau apa saja yang disampaikan konsumen, klien, investor, dan publik. Respons ini, jika dilakukan dengan baik, akan membangun reputasi dan kredibilitas.

Digital PR juga dengan cepat dan mudah bisa merespons pemberitaan, isu, atau apa pun yang muncul di media online.

Ketiga, melakukan kegiatan interaktif. Interaktif adalah "watak" media online. Digital PR bukan saja memungkinkan, tapi juga mengharuskan praktisi Humas berinteraksi mewakili lembaganya dengan publik, konsumen, atau klien. (SM)